Kiranya ini Providence: ketika saya scroll halaman muka saya, ada tiga status yang narasinya mirip. Yang satu mengenai eks teroris yang bertobat ala Saulus (Paulus). Yang lain tentang pejabat polisi yang bermimpi berjumpa dengan Yesus. Yang lain lagi… kok saya lupa ya, faktor U betul, tetapi mirip-mirip gitu deh.
– Lah, ya gapapa toh, Rom? Bukankah itu beredarnya di closed group yang Romo jadi anggotanya? + Iya, sih, tapi persoalan saya bukan ranah privat atau ranah publik, melainkan cara berpikir yang tinggal di ranah privat itu.
– Maksudnya, Rom?
+ Saya ambil dari teks hari ini deh: Celakalah kamu, sebab kamu seperti kubur yang tidak memakai tanda, orang-orang yang berjalan di atasnya tidak mengetahuinya!
– Naaah, makanya malah bagus kan menyebarkan kesaksian-kesaksian seperti itu bahkan kalau perlu di open group supaya orang lain mengetahuinya?
+ Bagusnya di mana?
– Ya biar orang lain mengetahui bahwa yang kita imani itu benar, syukur-syukur mereka lalu bertobat.
+ Waduh, mosok saya mesti ketik ulang: Bertobat mbahmu?
Saya pede aja mengatakan bahwa persoalan yang saya soroti satu ranah dengan persoalan yang ditunjuk oleh Guru dari Nazareth hari ini. Beliau memang mempersoalkan kemunafikan orang Farisi dan ahli Taurat, tetapi bukankah kemunafikan itu juga soal pelanggaran prinsip keadilan? Adilkah orang mengatakan yang baik-baik mengenai hal yang sebenarnya tak baik? Adilkah orang berpikir privat untuk publik?
Dua puluh tahun lalu saya pernah bilang bahwa Think Globally, Act Locally itu lebay bin tautologi. [Wuih… yang kemarin lupa, yang dua puluh tahun malah ingat. Iya, soalnya saya tulis di buku Saat Tuhan Tiada] Cukuplah dianjurkan untuk berpikir global (karena tindakan selalu bersifat lokal, dampaknya bisa global, karenanya perlu dipikirkan sebelum bertindak).
Saya tidak mempersoalkan aneka posting yang tadi saya singgung. Yang saya persoalkan ialah bahwa posting macam itu bisa berdampak negatif terhadap orang beragama yang wawasannya sempit, yang di Indonesia ini disokong oleh sistem mono-religious education: orang beragama A harus diajar mengenai agama A oleh orang yang beragama A. Untuk dunia yang agamanya A sampai Z, sistem ini sudah basi, tetapi apa boleh buat, kepentingan politik agama di Indonesia mewajibkannya begitu. Saya tak punya kuasa mengubah UU atau bikin perppu. Yang bisa saya suarakan ya itu tadi: hambok thinking kuwi globally gituloh. Berpikir global itu tidak menggerogoti iman orang, malah memperkaya. Yang bikin iman keropos bukan pikiran globalnya, melainkan pikiran lokalnya.
Memang orang yang punya pengalaman religius atau pun pengalaman iman bisa jadi mengalami euforia luar biasa dan tak bisa bungkam karenanya. Akan tetapi, bukankah semua roh mesti diuji? Dalam pengujian roh, orang beriman perlu waspada supaya bahkan pengalaman rohani pun tidak bermuara pada pengerasan pikiran sempit yang berujung pada “paradigma agamaku benar dan yang lain salah”. Itu tidak fair, karena Allah yang jadi pokok pengalaman iman bukan Allah yang mati. Dia terus bergerak dan bisa hadir di mana pun Dia mau.
Ya Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan untuk menerima keragaman cara-Mu mencintai kami. Amin.
RABU BIASA XXVIII C/1
16 Oktober 2019
Rabu Biasa XXVIII B/2 2018: Religitainment
Rabu Biasa XXVIII C/2 2016: Orang Merdeka Tak Mengancam
Rabu Biasa XXVIII B/1 2015: Beriman = Bermain
Rabu Biasa XXVIII A/2 2014: Iman City Tour
Categories: Daily Reflection