Adakah guna orang yang menyebalkan atau menjengkelkan? Ya ada, sekurang-kurangnya supaya orang lain masih bisa mendeteksi bahwa dia punya perasaan sebal dan jengkel itu. Apa yang terjadi kalau orang tak bisa lagi mendeteksi perasaannya? Itu seperti hasil kloning kedua Henry Brogan dalam Gemini Man, yang ditargetkan jadi mesin pembunuh, tanpa beban suara hati atau perasaan manusia biasa.
Clay Varris rupanya membuat dua kloning Henry Brogan. Yang pertama diberinya tugas untuk membunuh Henry Brogan, tetapi apa daya, perjumpaan dengan Henry Brogan justru membuka kran kloning pertama ini untuk mengenali dirinya, komplet dengan alergi lebah dan kesenangan menarik pelatuk senjata untuk membunuh orang. Kloning pertama ini mengalami gangguan sedemikian rupa sehingga perlahan-lahan [ya cepat juga sih cuma dalam hitungan menit] ia melihat kebenaran hidupnya. Inilah kesalahan Clay Varris dalam mengejar tujuannya. Kalau ia menginginkan kloning Henry Brogan yang bebas dari beban suara hati, seharusnya ia tak membiarkan perjumpaan kloningnya dengan Henry Brogan. Perjumpaan dengan Henry Brogan membuat batin Junior terusik meskipun ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa dia bukanlah (kloning) Henry Brogan.
Tampaknya begitulah juga karakter nabi: senantiasa membuat orang terusik, terganggu, jengkel, marah, dan sejenisnya, karena ia membocorkan Kebenaran hidup yang orang pada umumnya malah kerap menghindarinya. Silakan sebut sembarang nabi. Kalau ia tidak membuat Anda terusik, ia berhenti menjadi nabi. Itulah lanjutan kecaman Guru dari Nazareth kepada pemuka agama Yahudi: mereka enggan mendengarkan suara nabi hingga membunuhnya. Setelah nabi mati, barulah mereka mengakui suara kenabiannya. Sudah terlambat Brow! Akan tetapi, begitulah sejarah berulang: kenabian senantiasa mengusik orang, menghancurkan aneka proyek orang korup, menjebloskan orang pada desolasi yang menganga karena orang merasa benar atas sesuatu yang masih bisa dipersoalkan kebenarannya.
Di hadapan nabi sejati, orang tak pernah bisa berdiam diri. Tak ada kata indifference dalam arti lèlèh luwèh: ia harus mengambil sikap terus menerus. Orang bisa berhenti pada kesalehan pribadi, menganggapnya sebagai hal final yang bisa dilakukan orang beriman, tetapi ketika orang sungguh berhenti di situ, ia kehilangan nabinya. Ia jadi seperti kloning kedua Henry Brogan. Kloning pertama tidak jatuh pada kesalahan yang sama justru karena ia melihat pilihan lain: ada kehidupan lain yang bisa dipeluk, dihidupi, dihayati sebaik-baiknya supaya orang tiba pada perjumpaan dengan Allahnya, daripada hidup dalam program yang sudah sekian tahun atau sekian abad ditentukan orang lain.
Hmmm…. Romo ini sepertinya mau mempersoalkan tradisi agama yang berlangsung sekian ratus tahun ya?
Memang! Karena Guru dari Nazareth sendiri tidak mengajari saya untuk melestarikan tradisi, yaitu adat kebiasaan orang beragama yang dibangun atas dasar kepentingan-kepentingan horisontal. Ia mengajari saya untuk melestarikan Tradisi, nilai di balik tradisi-tradisi yang bisa beraneka ragam tadi, yang senantiasa membutuhkan suara kenabian. Celakanya, suara kenabian itu tak pernah dimonopoli oleh satu tradisi tertentu, apalagi cuma satu devosi tertentu. Itu mengapa setiap orang beriman butuh pencarian terus menerus juga dengan bantuan tradisi (agama) lain.
Tuhan, mohon rahmat kerendahan hati untuk mendengarkan suara kenabian-Mu. Amin.
KAMIS BIASA XXVIII C/1
17 Oktober 2019
Kamis Biasa XXVIII A/1 2017: Agama Post-Truth
Kamis Biasa XXVIII C/2 2016: Pemimpin Kafir
Kamis Biasa XXVIII B/1 2015: Is Conscience Dead?
Kamis Biasa XXVIII A/2 2014: Bisnis Edan Kerajaan Allah
Categories: Daily Reflection