Refleksi saya hari ini bertumpu pada kalimat “Janganlah membawa pundi-pundi atau bekal atau kasut”. Itu adalah ajakan kuat kepada kemiskinan: orang beriman tidak membiarkan dirinya terbebani oleh aneka macam rongsokan karena imannya sendiri sudah mencukupi.
Makan tuh iman, Rom, gak usah pakai nasi sayur daging pizza gudheg dan lain-lainnya!
Lha rak těnan, kok jadi sensi gitu sih, mentang-mentang sudah mau pelantikan gitu po?😂😂😂 Semua orang tahu bahwa untuk beriman, orang butuh nasi sayur dan kawan-kawannya itu [yang mungkin sebagian jadi musuh orang berusia tertentu dan berpenyakit tertentu]. Maka dari itu, terlalu amat lebay banget memahami “imanlah yang mencukupi” sebagai ketiadaan makanan dan kebutuhan lainnya.
Iman yang mencukupi itu berarti bahwa aneka macam hal yang ada pantas disyukuri dan tindakan yang mengikutinya bukan lagi tindakan karena gelojoh atau kerakusan, melainkan tindakan yang berangkat dari sikap syukur tadi. Ini film singkat tanpa dialog yang diproduksi lebih dari satu dekade lalu dan mendapat penghargaan di festival film Cannes. Judulnya The Black Hole. Silakan menyimaknya kalau berminat dan punya kesempatan.
Rongsokannya bukan makanan atau duit, melainkan sikap terhadap makan dan duit tadi. Ini paralel dengan diskusi mengenai mamon yang saya singgung dalam posting Iman, Aman, Amin. Oleh karena itu, undangan kepada kemiskinan bagi orang beriman tidak pertama-tama menyoal kepemilikan harta duniawi, tetapi sikap miskin terhadapnya, yang tak lain adalah detachment. Orang beriman perlu detach terhadap kekayaan, entah yang dimiliki atau yang tidak dimilikinya, supaya ia tidak dipermainkan dan dikuasai oleh kekayaan itu. Sayangnya, agama biasanya tidak ditangkap sebagai suatu kekayaan dan, karena itu, tanpa sadar diam-diam manusia dipermainkan dan dikuasai oleh agama, seakan-akan agama adalah Tuhan YME. Di situ, agama benar-benar jadi rongsokan, beban hidup manusia, sampah.
Undangan kepada kemiskinan bagi orang beriman tidak pertama-tama menyoal kepemilikan agama atau antiagama, tetapi detachment terhadap agama. Ini juga paralel dengan ajakan untuk think globally kemarin. Salah satu senjata iblis ialah ekstremisme: masuk ke hal yang detail sedetail-detailnya sehingga tak ada ruang lagi untuk detach. Begitulah kepentingan agama karena klaim universalnya. Setiap penganut agama ditarik untuk memasuki kedalaman agama. Apakah ajakan ini keliru? Ya tidak! Orang perlu tahu Kitab Sucinya, ritualnya, aturan liturgi, hukum, dan seterusnya. Akan tetapi, orang beragama kerap merepresentasikan pria yang masuk dalam The Black Hole tadi, terkubur di sana, dalam pikirannya.
Orang beriman tidak seperti itu karena mengerti betul bahwa agama tidak bersifat monolitik dan agama itu gak cuma agama nganu. Di kolong langit ini ada begitu banyak agama yang sama-sama mencari jalan terang, tetapi sedikit saja yang mengenal gotong royong agama. Ya itu tadi, waktunya “habis” untuk mengurusi ekstremisme senjata iblis berkedok kedalaman.
Gotong royong agama tentulah bukan memeluk banyak agama. Itu kembali lagi ke sikap dasar The Black Hole tadi. Cukuplah memupuk sikap terbuka dan mau belajar dari agama lain supaya penafsiran terhadap agama sendiri lebih joss gituloh. Otherwise, beban agama digendong ke mana-mana.
Tuhan, ajarilah kami bersyukur dan saling belajar. Amin.
PESTA S. LUKAS
(Jumat Biasa XXVIII C/1)
18 Oktober 2019
Posting 2018: Fall in Love with Doctors
Posting 2017: Semoga Bahagiahaha
Posting 2016: Mending Jadi Kafir?
Posting 2014: Semakin Beriman, Semakin ngArtis
Categories: Daily Reflection