Mengapa sih orang mengidentikkan Injil dengan kekristenan dan Qur’ān dengan keislaman [ya jelas karena begitu yang diajarkan di sekolah dong, Mo]? Apa memang Injil hanya untuk orang Kristen dan Qur’ān hanya untuk orang Islam, begitu? Njuk, apa artinya klaim bahwa Kristen bersifat Katolik (umum) dan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin? Bagaimana mau disebut universal wong kesucian kitabnya disekat dalam agama?
Mari lihat dari perspektif Kristen saja deh yang saya tahu. Hari ini Gereja memestakan salah satu penulis Injilnya yang bernama Lukas dan bacaannya juga diambil dari tulisan Lukas ini. Kisahnya cuma tertulis dalam Injil Lukas ini, tidak dalam Injil lain: Yesus mengutus tujuh puluh [dua?] murid ke tempat-tempat yang hendak dikunjunginya. Barangkali kalau dia hidup di Indonesia sekarang ini yang diutusnya 68 orang saja karena baru ada 34 provinsi. Ini barangkali aja loh karena itu cuma tanggapan dengan pola pikir literal (70 dibagi dua sama dengan 35), padahal angka tujuh puluh punya makna nonliteral. Pokoknya, angka paripurna itu menegaskan bahwa semua orang membutuhkan penginjil, pewarta kabar gembira. Semua orang, bahkan semua makhluk, tanpa kecuali.
Andaikanlah Yesus itu menginginkan semua makhluk berbahagia, seperti anjuran Sang Buddha (Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta), dengan pewartaan Injilnya, apakah itu dimaksudkan untuk orang Yahudi saja? Tentu tidak. Celakanya, warta gembira yang disodorkannya itu lantas dicatat, ditulis, dikumpulkan, njuk diberi label Injil dan itu dipakai di lingkaran orang Kristen sampai kemudian berkembang agama Kristen dengan segala perpecahannya. Apakah Yesus sewaktu menyampaikan warta gembiranya itu memaksudkan demikian? Saya sangat meragukannya.
Begitu juga sewaktu gerakan Protestantisme muncul, polanya kurang lebih mirip. Eksklusivisme yang ada dalam Gereja saat itu ditentang oleh Luther. Salah satu hal yang diperjuangkan Luther ialah bahwa semua orang Kristen itu sudah diberi modal membaca Kitab Suci, jadi tak perlu otoritas hirarki untuk mengartikan Kitab Suci. Maka dia menerjemahkan Kitab Suci ke dalam bahasa Jerman. Tapi apa lacur ketika orang-orang Kristen menghadapi situasi susah dan merasa buntu untuk memahami Kitab Suci? Mereka datang dan minta pencerahan dari Luther! Apakah ini yang diinginkan Luther dengan gerakan Protestantismenya? Tentu tidak, justru itu yang hendak dihindarkannya je [perkara Luther bisa menghindari atau menikmati privilese itu sih lain soal].
Semua orang butuh kabar gembira yang diwartakan Yesus, tetapi Yesus sama sekali tidak mewartakan agama Kristen atau agama Yahudi. Sama sekali tidak. Sekali-kali tidak. Ia benar-benar hendak mewartakan kabar gembira yang rupanya bisa digali dari mana saja. Juga dalam kitab-kitab agama tentu ada warta gembira dan itu berlaku bagi semua makhluk. Yang bikin runyam bukan warta gembiranya, melainkan formulasi dan tafsirannya yang tak mengindahkan kegembiraan yang disodorkan Yesus itu. Jadilah ribut di sana-sini. Dipeliharalah rasisme, chauvinisme, arogansi kerohanian, dan seterusnya.
Ya Allah, bantulah kami supaya dapat saling belajar sehingga kami menemukan warta gembira-Mu yang sesungguhnya. Amin.
PESTA S. LUKAS
(Rabu Biasa XXVIII A/1)
18 Oktober 2017
Posting Tahun 2016: Mending Jadi Kafir?
Posting Tahun 2014: Semakin Beriman, Semakin ngArtis
Categories: Daily Reflection