Iman, bukan hanya diberikan secara cuma-cuma bin gratis sebagai rahmat, melainkan juga diberikan kepada semua orang tanpa pandang bulu. Pokoknya bulu apa pun diterima. Ini ditegaskan dalam bacaan pertama yang merujuk Abraham sebagai bapak segala bangsa. Keturunannya tidak menunjuk pada garis biologis, tetapi pada kekembaran identik imannya: mereka yang menghidupi iman Abraham. Memangnya iman yang dihayati Abraham itu seperti apakah?
Cerita terkenalnya, yang dirayakan pada hari raya Idul Adha, mengindikasikan kesetiaan, ketaatan, dan kepasrahan Abraham terhadap Allah. Paulus menengarai bahwa meskipun tak ada dasar baginya untuk berharap [lha gimana ceritanya kalau anak tunggal mesti dikorbankan njuk punya cucu-cicit-canggah dan seterusnya?], Abraham toh tetap berharap dan percaya pada apa yang difirmankan Allah. Meskipun iman macam begini gratis, gak gampang kan menghidupinya?
Tentu saja tidak. Problematikanya ditunjukkan dalam teks bacaan kedua: menyangkal Anak Manusia, masih bisalah diampuni, tapi kalau menyangkal Roh Kudus, jangan harap!
Siapakah Anak Manusia di situ? Dari perspektif Kristen, itu adalah julukan untuk Yesus dari Nazareth. Artinya, tak usah ngoyoworolah mengenai Yesus dari Nazareth itu, sampai dibela-belain bikin grup pembela (yang bisa-bisa malah mengkhianatinya) atau penentang, karena yang paling utama justru Roh Kudusnya. Ha njuk Roh Kudus itu apa?
Nah, di situ ada persoalan; mirip kalau orang bertanya Allah itu apa. Kenapa jadi persoalan? Karena orang mau mengobjekkan Allah dalam kotak pikirannya. Apa saja kalau dibahas dalam cangkang rasio, hasilnya ya bergantung pada jenis cangkangnya itu. Jadi, Allah dan Roh Kudus menurut orang yang satu dan yang lain bisa berbeda-beda. Bukan karena Allah dan Roh Kudusnya berbeda, melainkan karena rasio orang yang berbeda-beda.
Persis di situlah bisa dipahami bunyi teks tadi: masih bisa dimengerti dan diampunilah kalau menurut A Roh Kudus itu adalah B dan menurut C Roh Kudus itu adalah D. Akan tetapi, orang tak akan bisa lari dari Roh Kudus yang sesungguhnya, yang menghubungkan dirinya dengan Sang Khalik. Menyangkal Roh Kudus ini berarti memutuskan hubungan dengan Allah sendiri. Lha, kalau hubungan itu putus, gimana pengampunan Allah itu bisa sampai? Tak bisa.
Pengampunan hanya dimungkinkan jika Allah tersambung dengan makhluk-Nya, dan sambungan itu setiap kali berlangsung jika orang hidup seturut roh yang direcoki Roh Kudus tadi.
Macam manakah orang yang direcoki Roh Kudus? Yaitu mereka yang tutur kata dan tingkah lakunya sinkron dengan apa yang ada dalam hatinya. Nah, ini juga persoalan lagi. Dari mana orang tahu apa yang ada dalam hatinya? Ini bukan sekadar bisa mengidentifikasi feelings, melainkan juga setiap gerakan afektif dalam diri seseorang, yang membuatnya mesti mengambil pilihan seturut mana yang secara aktual mendekatkannya kepada Allah. Nah, balik lagi ke pembedaan roh deh. Ya gimana lagi, tanpa disposisi itu, orang maunya menghilangkan barang bukti, menyangkal fakta, menyangkal roh. Babak belur ngakunya disiksa, jebulnya dirawat wajahnya; ngakunya merawat, jebulnya menyiksa. Mau jadi apa bangsa manusia ini?
Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan dan keberanian untuk membuka hati pada Sabda-Mu dan memilih semata yang memuliakan-Mu. Amin.
SABTU BIASA XXVIII C/1
19 Oktober 2019
Sabtu Biasa XXVIII B/2 2018: Srawung Digital
Sabtu Biasa XXVIII A/1 2017: Mengikhlaskan Kematian
Sabtu Biasa XXVIII C/2 2016: Tiada Ampun Bagimu
Sabtu Biasa XXVIII B/1 2015: Agama Ateis
Categories: Daily Reflection