Sebagian dari Anda penggemar bulutangkis mungkin merasa gemas kalau melihat inkonsistensi sebagian atlet Indonesia. Begitu juga penggemar sepak bola kalau melihat prestasi tim yunior yang moncer lalu begitu jadi senior malah meredup, sampai tetangga saya dari Pakem berkomentar empat (kekalahan) sehat lima (kekalahan) sempurna. Ini tentu bukan karena tidak nasionalis, melainkan justru karena melihat ada yang tak beres dalam sistem pembinaan, selain karena karakter atletnya sendiri barangkali ada masalah. Moncer sedikit besar kepala, njuk ngiklan atau galfok dengan aktivitas lain atau bahkan tak mau memacu diri sebagai atlet untuk lebih dan lebih lagi… Trus, entah ada apa dengan stamina atlet zaman now.
Memang konsistensi bukan segala-galanya. Pada saatnya, seturut umur, performa bakal meredup juga, tetapi konsistensi tidak terkait dengan umur. Ia terikat dengan apa yang muncul dari dalam diri orang: apa yang dikejarnya, apa yang dibelanya, apa yang jadi passionnya, dan seterusnya. Grafik naik turun tak jadi soal, tetapi orang yang konsisten, grafiknya fluktuatif menurun atau mendaki. Kalau orang tak konsisten, grafiknya turun naik aja tanpa tren naik atau turun, sekadar menjaga diri untuk tetap bernafas, meski jalan tak tentu arah.
Teks bacaan hari ini rupanya juga tidak pertama-tama merujuk pada konsistensi doa seakan-akan sekali sekali menentukan rumusan doa lalu rumusan itulah yang terus menerus mesti didaraskan sepanjang segala abad. Konsistensi doa tidak terkait dengan rumusan, tetapi dengan koneksi hati orang dengan apa yang kiranya ‘dipikirkan’ Allah. Teks bacaan pertama menunjukkan koneksi itu: kalau Musa mengangkat tangannya untuk berseru kepada Allah, bala tentaranya lebih kuat atas orang Amalek, dan kalau ia kelelahan lalu menurunkan tangannya, lebih kuatlah orang Amalek. Tak hilang akal orang-orang dekat Musa, mereka menyangga tangan Musa yang kelelahan, dan bangsa Israel tetap lebih kuat.
Poinnya bukan perang suku, melainkan keterarahan Musa kepada Allah. Orang yang punya keterarahan kepada Allah, hidupnya lebih kuat, bagaimanapun kondisinya. Maka, orang beriman sudah semestinya mengupayakan keterarahan itu, juga dengan bantuan orang lain.
Memang ayat terakhir seperti ungkapan orang skeptis: kalau Anak Manusia itu datang, akan didapatinyakah iman di bumi?
Saya bukan ahli tafsir, tetapi kalau saya memperhatikan konteks umum kabar gembira, saya kok ragu bahwa teks itu mesti dipahami sebagai ungkapan skeptis. Saya juga tidak tahu mengapa ayat itu ditutup dengan tanda tanya. Padahal, kalau saja perumpamaannya diperhatikan, mungkin ada nuansa lain yang klop dengan konsistensi tadi, bahkan meskipun konsistensi bukan segala-galanya.
Perumpamaan itu menegaskan bahwa Allah bukan seperti hakim munafik yang memutuskan perkara semata karena dirinya tak mau diganggu terus menerus oleh orang yang membutuhkan keadilan. Kiranya Allah ‘lebih baik’ daripada hakim munafik itu. Nah, kalau hakim munafik saja mengabulkan seruan orang yang menuntut keadilan, apalagi Allah yang ‘lebih baik’ itu dong, bukan?
Ya, tetapi justru itulah soalnya. Pada kenyataannya, korban ketidakadilan sulit melihat bahwa Allah mengabulkan seruan mereka. Di situlah ayat terakhir berfungsi: juga pada saat seolah-olah keadilan tak kunjung tiba, orang beriman tetap perlu connect dengan Allah, sampai nanti Anak Manusia itu tiba.
Tuhan, mohon rahmat perseverance dan endurance untuk menjaga keterarahan hidup pada-Mu. Amin.
HARI MINGGU BIASA XXIX C/1
20 Oktober 2019
Kel 17,8-13
2Tim 3,14-4,2
Luk 18,1-8
Posting 2016: Doa Menyinyirkan Keadilan
Categories: Daily Reflection