Kein Problem

Sebetulnya klip video The Black Hole yang saya tautkan pada posting Unencumbered by Religious Baggage kemarin tepat juga untuk mengerti teks hari ini: Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti? Akan tetapi, biar kelihatan refleksinya beda-beda untuk teks yang sama, saya tilik pengalaman pribadi saya deh: Those who seek only for the sake of having and forget being, lose everything in the hour of death.

Lah, emangnya Romo dah pernah mati?
Udah, berkali-kali malahan.
Kapan?
Waktu main gundu dulu, teman-teman kadang bilang ke saya,”Lu mati lu, ga boleh main!” Lalu saya terkapar.

Sewaktu SMA pada masa Dilan dulu, saya pernah iseng-iseng menulis berhadiah. Hadiahnya satu setengah juta rupiah saja, tetapi harga bensin waktu itu masih lima ratusan rupiah. Janjane itu bisa untuk investasi, tetapi saya yang lugu ini tak kepikiran ke sana. Sebagian saya pakai untuk memberi hadiah untuk guru-guru bahasa saya, yang lainnya untuk traktir teman-teman, dan yang lainnya lagi saya pakai untuk membeli buku. Tampaknya saya berjiwa sosial ya, agak-agak sedikit intelektual, dan yang penting, kelihatannya saya tak terkena kutukan “Those who seek only for the sake of having and forget being, lose everything in the hour of death” tadi karena uang sebanyak itu tidak saya makan sendiri, tetapi saya bagi-bagikan kepada banyak pihak sampai-sampai saya tak berinvestasi. Seakan-akan, saya mencari sesuatu bukan for the sake of having.

Akan tetapi, apa boleh buat, sebagai mantan ketua sOSIS, kesibukan saya tidak berkurang secara signifikan sehingga mungkin hanya 10 persen saja buku yang memakan anggaran jutaan rupiah itu sempat saya baca. Itulah yang membawa penyesalan saya karena rupanya, meskipun tidak bermaksud mencari buku sekadar biar punya, pada kenyataannya, dari yang saya beli itu cuma sedikit saja yang dapat saya manfaatkan. Artinya, sedikit itu sajalah yang sesungguhnya saya butuhkan, tetapi lebih banyak yang saya beli, ujung-ujungnya for the sake of having itu (takut kudet, takut gagal karena tak siap, takut…), dan saya melupakan being.

Siapa sih being itu, Rom, kok sampai melupakannya?
Yaitu yang tak terikat oleh having tadi tetapi bisa tetap happy bahkan juga sebagai sobat ambyar. Kenapa? Karena unconditional love memang unconditional, sebagaimana ditunjukkan Paulus soal iman Abraham: malah semakin kuat ketika havingnya (usia, badan, istri, dll) semakin rapuh karena percaya pada janji Allah. Mungkin being lebih gampang diterangkan secara negatif sebagai status detachment terhadap apa saja yang bisa jadi objek kepemilikan tetapi hinggap terus dalam pribadi orang.
Kalau boleh melompat kepada klaim teologis, itulah Roh Kudus, yang memungkinkan orang unconditionally happy, yaitu, bisa menemukan makna dalam segala: kaya-miskin, sehat-sakit, untung-rugi, kegagalan-kesuksesan, dan bisa memilih yang lebih ‘gue banget‘, yaitu yang lebih mengantarnya pada AMDG.

Tuhan, bebaskanlah kami dari aneka ketakutan yang menghambat kami untuk memilih semata yang memuliakan nama-Mu. Amin.


SENIN BIASA XXIX C/1
21 Oktober 2019

Rm 4,20-25
Luk 12,13-21

Senin Biasa XXIX B/2 2018: Om Sedekah Om
Senin Biasa XXIX A/1 2017: Kapitalis Jaya
Senin Biasa XXIX C/2 2016: Robot Cinta Eaaa….

Senin Biasa XXIX B/1 2015: Need or Greed?
Senin Biasa XXIX A/2 2014: Berenang-renang Dahulu, Bersenang-senang Kemudian