Protektif Kreatif

Ada orang yang berjaga-jaga untuk sesuatu yang dimilikinya: membuat pagar, kunci, gembok, dan lain sejenisnya. Pokoknya, orang begitu protektif pada apa yang dianggapnya sebagai milik bin kepunyaannya. Maka orang bisa begitu protektif terhadap anaknya, pacarnya, suaminya, sawah padinya, dan bla bla bla lainnya. Orang melindungi, membela, membentengi, mempertahankan kepunyaannya dengan segala cara bahkan sampai titik darah penghabisan. Keren, kan?

Andai saja orang seperti itu memperhatikan tindak berjaga-jaga dengan mempertimbangkan pokok yang disodorkan Guru dari Nazareth ini, mungkin ia bisa berjaga-jaga dengan lebih ringan, gembira, tenang, tanpa kepanikan, bahkan meskipun sampai titik darah penghabisan. Guru dari Nazareth memberi perhatian bukan pertama-tama pada apa yang sudah ada, melainkan pada apa yang belum ada atau yang akan (semestinya) ada. Pada yang pertama orang cenderung protektif, pada yang kedua kreatif. Kreatif, karena terbuka untuk ikut ‘mencipta’ yang belum ada itu.

Contoh yang paling gampang adalah para pahlawan nasional dulu yang menjaga apa yang sudah ada di bumi pertiwi Indonesia. Tentu mereka protektif, dan memang sewajarnya begitu. Apakah mereka berjaga-jaga dengan gembira, tenang, tanpa kepanikan atau dikuasai ketakutan, kemarahan, kebencian? Entah, bergantung pada orangnya masing-masing. Di antara sekian juta pejuang, tentu ada yang melakukan perlawanan tanpa tunduk pada ketakutan, kemarahan, dan kebencian. Orang-orang seperti inilah yang berjaga-jaga secara kreatif.

Para pahlawan kreatif inilah yang berjasa besar menghadirkan imajinasi bangsa Indonesia: suatu bangsa yang dibangun bukan karena sentimen suku atau ras atau agama, melainkan karena visi etis bersama ke depannya. Seperti apa ya tentu belum jelas betul justru karena bergantung pada orang-orang di dalamnya ke depan mau apa dan bagaimana. Dalam bahasa suci, ini adalah suatu sikap eskatologis, ungkapan harapan ke depan bahwa Allah sumber keselamatan itu juga mau hadir dalam struktur yang dibangun manusia bersama.

Berjaga-jaga untuk sesuatu yang akan diwujudkan, dengan demikian, lebih membawa orang pada kebahagiaan daripada sekadar protektif. Ini tidak mengatakan bahwa sikap protektif buruk, tetapi bahwa sikap protektif perlu diletakkan dalam konteks kemajuan SDM #loh. Kalau tidak, orang hanya tinggal dalam tradisi beku, produk lama yang tergopoh-gopoh tak bisa menjawab tantangan baru, agama yang hidup di zaman gelap, dan seterusnya. Ini tidak menilai bahwa tradisi atau agama itu buruk, tetapi cara menghidupi yang sekadar protektif itu benar-benar tidak inspiratif, karena ujung-ujungnya cuma kamuflase dan orangnya sendiri jadi munafik. Cobalah tengok pembela nganu yang memakai aksi sosial untuk menunjukkan bahwa kelompoknya tak membuat onar: itu artinya aksi sosialnya sendiri cuma polesan, agenda utamanya tetap memproteksi kepentingan kelompoknya sendiri.

Pun kalau agama dan tradisi itu buruk, bolehlah diingat kata-kata Paulus: di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia berlimpah-limpah. Ini bukan hubungan sebab akibat, melainkan hubungan eskatologis tadi: semakin orang terbuka pada kerapuhan tradisi atau agamanya, semakin orang mengerti bahwa kerahiman Allah itu semakin berlimpah, lha wong ingatasé rapuh saja masih dibiarkan hidup!

Ya Allah, mohon rahmat keberanian untuk merealisasikan kerahiman-Mu dalam hidup bersama kami. Amin.


SELASA BIASA XXIX C/1
22 Oktober 2019

Rm 5,12.15b.17-19.20b-21
Luk 12,35-38

Selasa Biasa XXIX B/2 2018: Jangan Siap-siap Mati
Selasa Biasa XXIX A/1 2017: Selamat (Jaga) Malam
Selasa Biasa XXIX B/1 2015: PHP Tuhan

Selasa Biasa XXIX A/2 2014: Dengar Dia Panggil Namamu?