Nasihat sikap berjaga-jaga masih lanjut. Metaforanya berganti, tetapi isinya sama: menanti dalam kesiagaan adalah sikap orang beriman yang percaya pada janji Allah bahwa Ia akan datang. Kedatangan Allah ini tak identik dengan kematian ala kiamat, tetapi justru dengan kehidupan yang baru. Kebaruannya tidak terletak pada update properti, tetapi pada update empati: kalau Allah itu datang ke dunia ini, apa yang kiranya Dia lakukan….
Metafora maling itu cool juga, bukan karena malingnya, melainkan karena dimensi unpredictablenya; dan memang begitulah, kalau maling itu unpredictable, Allah lebih lagi. Menantikan sesuatu yang tak dapat ditebak itu gimana jal? Susah membayangkannya, bukan?
Tentu tidak susah kalau yang tak terprediksi itu cuma waktunya. Bakal runyam kalau segala-galanya tak terprediksi, dan jangan-jangan Allah itu segala-galanya tak terprediksi!
Syukurlah, kenyataannya tidak begitu. Allah itu memang misteri, tetapi bukannya tak mungkin dicicipi karakternya. Dalam hal ini, agama membantu orang untuk mengerti karakter-Nya itu, sedikit demi sedikit. Terhadap yang sedikit itu, orang beriman bisa mengujinya apakah karakter yang ditangkapnya cocok dengan hidupnya. Kalau klop, betapa happy hidupnya.
Kalau begitu, nasihat berjaga-jaga, termasuk ayat penutup yang seakan-akan menuntut orang kepercayaan Allah (yang punya banyak dituntut banyak) bekerja keras, tidak perlu selalu dilihat dari perspektif orang bekerja saja. Kata seorang pertapa perempuan, hanya dia yang menantikan Allahlah yang dapat mengapresiasi momen now dan mengerti makna dan kekayaan momen itu. Soalnya, ia tahu bagaimana menempatkannya dalam perspektif yang tepat, menghubungkannya dengan kedatangan Allah yang dinantikannya itu.
Pada kesempatan audiensi Paus Fransiskus awal September lalu disinggung soal seni beristirahat. Sudah terlalu banyak orang bicara mengenai seni bekerja, tetapi rupanya pembicaraan yang banyak itu malah berujung pada workaholic. Mungkin yang disinyalir beliau bukan per se gila kerjanya, melainkan bahwa gila kerjanya itu tak proporsional: bekerja keras sedemikian rupa supaya di akhir semester punya cukup penghasilan untuk aneka macam kesenangan atau kiya-kiya ke ujung-ujung bumi yang diidam-idamkannya.
Memang saya dapati kesan seperti itu dari cara orang membangun relasi mereka. Orang tua sibuk bekerja seharian penuh dan tak punya waktu untuk sekadar memperhatikan hobi anak kecilnya dan dilampiaskan pada akhir tahun mengajak anggota keluarga untuk berlibur ke tempat yang prestisius. Hobi anaknya sudah berubah, dan orang tua nan sibuk ini bahkan tak mengetahuinya. Kesuksesan diukur dari seberapa jauh orang bisa pergi plesir, dan kerja jadi mutlak tak bisa ditawar, tidur tak nyenyak, relasi hambar, modal sosial jadi beban.
Syukurlah, kebanyakan orang di sekeliling saya punya seni istirahat yang sedemikian cool sehingga bisa tidur nyenyak dengan deadline, bisa bekerja tanpa ketegangan percuma, masih punya slot waktu cukup untuk keluarga dan teman, bahkan bisa mengintegrasikan kerjanya dengan hobi, dan begitulah kunci yang disodorkan ketika Allah mencipta: ia memandang ciptaan-Nya itu dengan perspektif all is well…. Ya itu, sebelum ada manusia.😂😂😂
Ya Allah, ajarilah kami memaknai setiap momen now seperti Engkau sendiri melihatnya: all is well. Amin.
RABU BIASA XXIX C/1
23 Oktober 2019
Rabu Biasa XXIX B/2 2018: Situ Tuhan?
Rabu Biasa XXIX A/1 2017: Kenapa Kitab Suci Turun?
Rabu Biasa XXIX C/2 2016: Anytime Now
Rabu Biasa XXIX B/1 2015: Gak Ngerti Mau Ngapain
Rabu Biasa XXIX A/2 2014: Jangan Lupa Bernafas!
Categories: Daily Reflection