Boleh percaya, boleh tidak, tapi tak usah sewot: sakit itu senantiasa jalan Allah untuk mengatakan sesuatu kepada orang beriman; mencari-cari hal di luar itu hanyalah membuang mutiara berharga.
Ini adalah kata-kata mistikus perempuan. Tak saya sebutkan namanya di sini karena pada dasarnya saya lupa.
Akan tetapi, refleksinya masuk akal juga, bukan? Beliau pasti tidak hendak mengatakan bahwa orang sakit tidak boleh berobat, tidak boleh berkonsultasi pada dokter, tidak boleh mencari akar persoalan dari dunia medis. Justru sebaliknya. Orang sakit itu mesti mencari penjelasan mengapa ia sakit, apa penyebabnya, bagaimana seharusnya mencegahnya dan bagaimana mengobatinya. Hanya saja, orang beriman meletakkan penjelasan itu semua dalam konteks colekan Allah kepadanya.
Lha memangnya kenapa kalau tidak diletakkan dalam konteks colekan Allah itu?
Haiya tentu jadi bukan sikap orang beriman dong, wong memang pembedanya cuma di situ.
Iya, ngerti, Rom, tapi maksud saya kenapa juga mesti ambil posisi beda, bukankah sakit itu ya sakit aja, bisa didiagnosa melalui sains?
Yap betul skale’, sains memberi penjelasan bagaimana sakit terjadi, tetapi tidak cukup untuk memberikan pemahaman terhadap misteri sakit itu sendiri: why me, why now, why here, dan seterusnya.
Loh, ya itu tadi jawabannya bisa dijelaskan dengan sains, Rom! Romo nih bebal banget!
Bukan begitu, how dan why itu memang beda ranahnya. Kalau orang mempertanyakan how, dia membutuhkan jawaban objektif. Penjelasannya bisa diberikan tanpa melibatkan sikap, perasaan, reaksi subjek yang mengalaminya. Contohnya seperti yang tahun lalu saya alami, yang saya tulis dalam posting Jangan Siap-siap Mati. Mungkin bisa dijelaskan terjadi penyempitan pembuluh darah, mungkin bisa dijelaskan menipisnya kadar oksigen, tetapi sains tak menjelaskan mengapa saya pada pagi hari itu lebih memilih treadmill daripada jogging di luar seperti biasanya. Dalam hal itu, saya tak butuh sains untuk memberi istilah kemalasan, ingin variasi, atau dinamika batin lainnya. Mempertanyakan why jadi pintu masuk makna, dan keberhasilan menjawabnya membantu saya mengenali diri dan Tuhan. Sayalah yang mesti menjawabnya, bukan sains, bukan orang lain, meskipun saya butuh sains dan orang lain untuk menjawabnya.
Maka dari itu, juga bahkan kalau orang beriman itu sakit, sebutlah sakit dari kepala (apalagi) sampai hati, ia tak bisa melemparkan perkaranya kepada sains, kepada orang lain. Itu adalah momen untuk menelisik jalan Allah yang mana yang perlu ditapakinya. Orang seperti ini tidak terobsesi menjawab pertanyaan,”Apa salahku, apa dosaku?” [Tentu karena kesalahan dan dosanya terlalu banyak untuk jadi objek obsesi.] Kalau sampai obsesif dengan pertanyaan seperti itu, ia tak cukup beriman untuk memahami bahwa Allah sedang menawarkan colekan maut-Nya supaya orang tetap dapat membiarkan api cinta-Nya bernyala. Salah satu indikator api cinta-Nya bernyala dalam diri orang ialah bahwa orang beriman ini tahu betul apa yang diinginkannya dalam hidup, dan keinginannya itu tidak jauh-jauh dari proyek Allah: AMDG, begitu katanya.
Tuhan, mohon rahmat pengenalan diri supaya kami semakin mampu menunjukkan api cinta-Mu. Amin.
KAMIS BIASA XXIX C/1
24 Oktober 2019
Kamis Biasa XXIX B/2 2018: Poligama Sontoloyo
Kamis Biasa XXIX A/1 2017: Mana yang Sakral?
Kamis Biasa XXIX C/2 2016: Cinta Rese’
Kamis Biasa XXIX B/1 2015: Konflik Tapi Damai
Kamis Biasa XXIX A/2 2014: Benci Tapi Kok Cinta Ya?
Categories: Daily Reflection