Mana Yang Sakral

Ada gak sih orang beragama yang membaca Kitab Suci untuk cari perkara? Tentu ada, yaitu mereka yang hendak memecah belah orang yang bukan barang pecah belah. Comot ayat ini itu untuk menyerang orang lain. Ini kemarin sudah dibahas. Akan tetapi, maksud pertanyaan saya tadi ialah: apakah dari Kitab Suci orang beragama mengharapkan penghiburan, ketenangan, peneguhan, atau sebaliknya? Adakah orang berniat membaca Kitab Suci untuk menggalaukan dirinya sendiri?

Ya mboh, Mo. Pertanyaan macam mana sih itu? Wong cuma mau bilang “sewajarnya orang membaca Kitab Suci untuk mendapatkan jawaban atas kegalauan hidupnya” aja kok pakai bikin pertanyaan konyol segala.
Ya maap, ini juga dah mulai ngantuk soalnya.

Pokoknya, bacaan hari ini terasa keras, setelah dua hari kemarin disuruh jaga malam: aku datang bukan untuk membawa damai, tetapi pertentangan. Mati kowe! Kalau mau damai-damai doang ya jangan beragama, cukup bersembunyi di balik keyakinan subjektif (pokoknya percaya Tuhan eksis) atau tameng moral (yang penting baik kepada sesama). Kalau orang beragama, itu sudah otomatis cari perkara sedemikian rupa sehingga bisa sampai sekurang-kurangnya pada dua sikap: (1) akulah yang paling benar dan yang lain salah (baik dalam kaitannya dengan agama lain maupun orang lain dalam agama yang sama), dan (2) kita sama-sama benar menurut ukuran kita sendiri jadi gak usah urusi rumah tangga orang lainlah!

Yang pertama jadi absolutis, yang kedua relativis. Dua-duanya mau cari aman dan damai dan ketenangan, tetapi ujung-ujungnya kok tak menjawab tantangan bacaan hari ini: bahwa setiap orang beragama mesti mengambil sikap secara tertentu terhadap kebenaran dari Allah. Akan tetapi, pengambilan sikap ini tak mungkin dilandasi keyakinan absolut (karena orang takkan pernah menggapai Allah 100%) dan relativis (yang sebetulnya ya sama-sama keyakinan absolut, cuma lingkupnya diperkecil jadi diri sendiri atau kelompok sendiri). Memang beragama itu susah kok kalau mau konsekuen: mesti sanggup berdialog untuk menemukan jembatan antara urusan profan (urusan duniawi: makan-minum, kerja, tidur, mbolang, mandi, dll) dan sakral (yang suci, ‘keramat’).

Kalau gada jembatan itu, hidup orang jadi mekanis, tanpa makna, bisa jadi ideologis nan naif. Apa sih jembatannya? Saya tak tahu dalam tradisi agama lain apa istilahnya, tetapi dari perspektif kekristenan, jembatan itu adalah sakramentalitas. Maka dalam gereja Katolik dikenal tujuh sakramen yang hendak merangkum siklus hidup manusia sejak lahir sampai kematian: baptis, rekonsiliasi, ekaristi (makan-makan, asik gila’), penguatan, imamat, perkawinan, dan minyak suci. Maksudnya apa? Bahwa dalam keseharian hidup itu yang sakral hadir dan kehadirannya bakal terasa konkret ketika yang profan itu sungguh optimal. Kata Santo Ireneaus: Gloria Dei homo vivens. Manusia yang sungguh hidup, dengan api berkobar, dengan krêntêg, passionate, juga dalam aktivitas yang serba tampak remeh mulai sejak bangun tidur sampai tidur lagi, di situlah terletak yang sakral (yang tak terbatas pada kerindangan pohon tua atau bahkan tabernakel).

Ya Allah, bantulah kami untuk senantiasa membangun jembatan bagi kesucian-Mu dalam hidup kami yang tanpa makna ini. Amin.


HARI KAMIS BIASA XXIX A/1
26 Oktober 2017

Rm 6,19-23
Luk 12,49-53

Kamis Biasa XXIX C/2 2016: Cinta Rese’
Kamis Biasa XXIX B/1 2015: Konflik Tapi Damai
Kamis Biasa XXIX A/2 2014: Benci Tapi Kok Cinta Ya?