Adakah surat kabar yang isinya hanya berita baik nan menggembirakan? Syukurlah, tak ada. Kalau sampai itu terjadi, Anda perlu curiga di planet mana Anda hidup atau bagaimana Anda menjalani hidup ini. Lebih dari setengah abad lalu terumuskan suatu dokumen yang berjudul Gaudium et Spes, kegembiraan dan harapan. Tentu sebetulnya itu menyangkut keadaan dunia yang diwarnai baik oleh situasi yang menggembirakan maupun yang menyedihkan, tetapi karena itu dokumen religius, ya kesedihannya diganti dong dengan perspektif yang lebih positif: harapan.
Membuka perspektif yang lebih positif itu memang bisa jadi menjengkelkan, karena yang nyata-nyata negatif mesti dibungkus dengan sesuatu yang positif. Bukankah itu tak lain daripada kemunafikan?
Tetot, sebentar dulu Masbro Mbaksis. Tak boleh dilupakan bahwa harapan senantiasa merujuk ke depan, tanpa tutup mata pada kenyataan masa lalu atau masa kini. Maka, boleh saja orang menilai masa lalu dan masa kini benar-benar memprihatinkan, tetapi harapan tentu tidak diletakkan supaya yang menyedihkan dan memprihatinkan itu langgeng bin abadi. Sebaliknya, harapan dikedepankan justru untuk menegaskan bahwa yang lalu dan yang sekarang ini tidak atau belum cocok dengan ideal diri.
Di negeri ini, sampai sekarang, ideal diri itu tak pernah terpenuhi meskipun landasan dan visi sudah dibangun baik-baik. Mungkin justru karena landasan dan visinya itu ideal, kenyataannya senantiasa bergerak dari pendulum satu ke pendulum lain: dari negara agama ke negara sekular. Sudah jelaslah bahwa Indonesia tak pernah mengidealkan diri sebagai negara sekular, tetapi juga tak pernah mengimpikan suatu negara agama. Iming-iming kebebasan yang ditawarkan sekularisme hanyalah isapan jempol, sebagaimana janji muluk negara agama cuma isapan kelingking.
Pasca pengumuman kabinet, di media sosial muncul foto perkawinan menteri termuda, yang bagi saya, sebagai pemuka agama (terbelakang) sangat tidak mengenakkan. Saya tahu yang memimpin upacara perkawinan saya itu teman saya; saya juga tahu bahwa menteri termuda ini bukan Katolik. Hanjuk kenapa foto-foto itu mesti diseliwerkan di media sosial ya? Entahlah, saya tak bisa melacak siapa yang menunggahnya dan untuk kepentingan apa, tetapi perilaku sosial ini berdampak pada penggelembungan identitas religius sampai kewowogen agama. Orang membanggakan pemimpinnya bukan karena kompetensi, melainkan karena isu agama: married di gereja Katolik, menerima perbedaan, dan seterusnya. Orang kagum pada sosok pribadi bukan karena orientasi kemanusiaannya, melainkan karena kesamaan agamanya, yang nota bene sama sekali tidak sama!
Tidak sama gimana,Rom, kan ada KTP dan tertera Katolik!
Kalau begitu cara berpikir Anda, semakin teranglah untuk saya bahwa kolom agama di KTP itu benar-benar penindasan. Setengah mati saya berjuang supaya orang beriman tak dikerangkeng oleh kategori agama, tetapi yang terjadi justru pengerasan identitas agama. Persis itulah yang hendak dilawan Guru dari Nazareth dan guru-guru agama lainnya. Apa daya, membaca tanda zaman memang tidak mudah. Orang lebih nyaman tinggal dalam keyakinan ideologisnya, lalu tinggal menghakimi yang lainnya. Alamak, kapan majunya Indonesia?
Tuhan, mohon rahmat keluasan hati supaya kami menemukan cara-cara baru untuk mencintai-Mu dan sesama. Amin.
JUMAT BIASA XXIX C/1
25 Oktober 2019
Jumat Biasa XXIX B/2 2018: NKRI Harga Meninggal
Jumat Biasa XXIX A/1 2017: Galau Forever
Jumat Biasa XXIX C/2 2016: Asisten Garengpung
Jumat Biasa XXIX B/1 2015: Kangen Matahari
Jumat Biasa XXIX A/2 2014: Satu Iman Banyak Agama
Categories: Daily Reflection
Sepertinya sumber penyakit itu ya itu… perspektif dan persepsi. Mana bisa membaca surat kabar tanpa perspektif dan persepi. Ujung-ujungnya kalau gak sama jadi kabar yang buruk. Dan setiap kabar yang buruk mengarah pada galau. Ya gitu.
LikeLike
Tengkyu Mas Andy. Iya ya perspektif dan persepsi itu bisa bikin penyakit… dan dari mana datangnya perspektif dan persepsi yang bikin penyakit itu ya, hmmm…
LikeLike
You’re welcome, Romo.
Saya juga penasaran, Romo, dari mana semua itu berasal… mungkinkah dari akal yang tak sehat? Hati yang tak bersih? Dengki… iri…
Dan ketika menulis ini… kesimpulanku kok menuju semua itu asalnya “min sarri al was was al khonnas” dari perasaan was was yang dibisikkan kepada manusia secara sembunyi-sembunyi.
LikeLike
Nah itulah Mas Andy. Jangan-jangan dalam was-was yang dibisikkan secara sembunyi-sembunyi itu ada andil cultural conditionings sewaktu kecil ya? Atau juga ada andil ‘gawan bayi’, haha…
LikeLike
Ha? Gawan bayi… apa yang dimaksud yang warisan itu?
Saya jawab tidak tahu.
Cuma saya menduga-duga, sifat tamak, cemburu, marah, cinta, mendominasi, menguasai dan sifat-sifat yang lain itu sudah ada dalam diri manusia. Dalam perkembangannya sifat yang manakah yang kemudian menonjol dan menjadi watak itu adalah proses dinamika hidup yang dialami, apakah ia akan menjadi seorang yang penuh kasih seperti orang-orang terpilih? Ataukah sebaliknya menjadi lalim? Tidak tahu jawabannya secara pasti.
LikeLike
Bukan warisan sih, Mas, tapi ya itu tadi ‘nurture’ yang masuk alam bawah sadar selagi orang masih bayi dan cuma bisa menyerap dari kultur tempat hidupnya. Setelah dewasa, kekuatan2 itu yang jadi pembisik ‘diam-diam’ itu… Tapi ini kan juga perspektif ya, hehe.
LikeLike
Iya ya… ini juga perspektif. Dan bisa muncul perspektif seperti ini juga kayaknya dari apa yang kita pahami dan kita baca juga ya. Dipengaruhi oleh apa yang kita baca dan kita dengar. Aaaaah… penyakitnya berarti dari…? Ha ha ha.
Jadi kebenaran sebenarnya harus dicari sendiri-sendiri sampai hingga hanya keberan mutlak yang ditemukan. Selama ia belum mutlak, ia masih hanya perspektif. Ha ha ha.
LikeLike
Iya gak apa Mas, yang penting perspektif itu bener2 connect dng kenyataan hidup, diri sendiri, kaumnya dan Allahnya.
LikeLike