Tebang Tahun Depan

Dua hari lalu saya sitirkan refleksi seorang pertapa mengenai sakit sebagai jalan colekan Allah. Teks hari ini omong soal penderitaan yang sama sekali bukan suatu divine punishment, tetapi memang orang sezaman Guru dari Nazareth memahaminya begitu. Meskipun demikian, barangkali menarik juga melihat catatan samping mengenai penyembuhannya seturut refleksi Kitab Suci. Saya menuliskannya dalam Some Notes on Healing. Di situ antara lain ditunjukkan bahwa pengalaman sakit adalah momen pencarian makna lebih daripada momen galau.

Barangkali Guru dari Nazareth ini gusar juga saat berhadapan dengan common sense di sekelilingnya yang meletakkan sosok Allah sebagai tiran yang kejam yang suka menghukum manusia. Ia berusaha mengajak para pendengarnya untuk melihat struktur masyarakat yang diam-diam ditangkap orang kebanyakan sebagai representasi Allah yang tiran itu. Lha wong yang korup pejabat kok yang disalahkan Tuhannya. Wong pejabat muda mau bekerja saja kok sudah ditakut-takuti dengan struktur yang penuh intrik.

Kemarin saya baca suatu analisis seorang guru besar yang malah menunjukkan bahwa dunia pendidikan tinggi itu ribet, tak terpahami oleh mereka yang tak akrab dengan urusan struktural pendidikan tinggi. Tentu ini tidak dimaksudkan untuk menakut-nakuti menteri baru yang masih kinyis-kinyis dari segi umurnya. Itu hanyalah letupan kewaspadaan supaya menteri baru ini tak jadi alat kepentingan orang-orang di bawahnya. Alhasil, saya yang awam ini jadi semakin yakin bahwa sekian puluh tahun setelah Indonesia merdeka ini, orang-orangnya belum merdeka sungguh-sungguh untuk jadi diri sendiri, juga yang berkecimpung di dunia pendidikan tinggi seperti saya ini, hahaha…. Scopus oh Scopus, makhluk apakah engkau ini sehingga semua-muanya mau kautundukkan, termasuk pendidikan Indonesia yang jumlah penduduknya mendekati tiga ratus juta itu?

Baiklah kita sudahi gerutu itu. Mari lihat gerutu yang lain. Orang seperti saya, apalagi yang jadi korban kekacauan 1998, tentulah geleng-geleng kepala dengan pentolan kericuhan 1998 yang malah join dengan pemerintah. Ini tak lain cuma tarik menarik alias kompromi kepentingan politik! Lha ya memang. Namanya kekuasaan tentulah medannya tarik menarik kepentingan politik itu. Apakah tarik menarik itu akan melanggengkan penindasan atau mengurainya, tentu tak bisa dinilai hanya dari fakta bahwa yang dulu koruptor sekarang jadi menteri atau pengawas keuangan dan sebagainya. Mendingan menuruti kata teks hari ini saja ya: Biarkan dia tumbuh tahun ini lagi, aku akan mencangkul tanah sekelilingnya dan memberi pupuk kepadanya, mungkin tahun depan ia akan berbuah. Jika tidak, tebanglah dia!

Di situ, perhatian orang bisa ditujukan pada kalimat pertama, tapi bisa juga kalimat kedua. Kenapa? Karena dalam kalimat kedua termanifestasikan kemudahan kultur kematian yang menghantui orang beriman juga: maunya mithěs injěk-injěk aja itu sontoloyo. Sayangnya, panggilan orang beriman tidak ujug-ujug ke sana. Panggilan orang beriman adalah memelihara kultur kehidupan, dan karenanya lebih ribet mencangkul dan memberi pupuk. Njuk kapan orang beriman bisa memberi evaluasi final kepada sontoloyo dong? Tahun depan.

Tuhan, luaskanlah hati kami dan maksimalkan energi kami untuk membangun kultur kehidupan juga di dunia yang begitu akrab dengan kultur kematian. Semoga semua makhluk berbahagia. Amin.


SABTU BIASA XXIX C/1
26 Oktober 2019

Rm 8,1-11
Luk 13,1-9

Sabtu Biasa XXIX B/2 2018: Kaya Masuk Surga
Sabtu Biasa XXIX C/2 2016: Ekstremis Agama
Sabtu Biasa XXIX B/1 2015: Awas Kabut Azab
Sabtu Biasa XXIX A/2 2014: Kapan Kutukan Tuhan Terjadi