Recommended Prayer

Untuk refleksi hari ini saya menyimak dua cerita tetangga jauh saya. Cerita yang satu kiranya Anda pernah mendengarnya mengenai mitologi Yunani dengan tokoh Narcissus. Betul, ini jadi dasar etimologi kata narsisisme. Narcissus ini pemuda tampan yang saat pertama kali melihat bayangan dirinya di air njuk jatuh cinta. Suatu kali, dia mau lihat bayangan dirinya itu lebih baik, lha malah terlalu dekat ke air njuk kejebur trus kělělěp deh. Mati kowé! Tak sempat saya tolong, wong jauh banget, di Yunani sana. Orang-orang Yunani kiranya bersepakat bahwa dia yang jatuh cinta pada diri sendiri, akhirnya mati kělělěp alias kěwowogěn sampai gak bisa bernafas. Semoga Anda tidak jatuh cinta pada diri sendiri saja, sehingga masih bisa melihat ketampanan lain di sekeliling Anda.

Cerita yang kedua dari Latin, saya baru dengar, bikinan Phaedrus. Dewa Yupiter meletakkan dua kantong pelana kepada kita, satu di belakang, dan satunya di depan. Bagian belakang, di balik punggung kita, penuh dengan kesalahan kita, sementara bagian depannya berisi kesalahan orang lain. Karena itu, kesimpulan dongeng itu, kita tak dapat melihat kesalahan kita, tetapi melihat dengan baik kesalahan orang lain dan kita selalu siap mengkritik mereka karena kesalahan-kesalahan itu. Jadi, sudah sejak zaman jebot Yunani dan Romawi, orang mengecam sikap mereka yang mengagungkan diri sendiri dan meremehkan atau membenci orang lain.

Teks bacaan hari ini menyodorkan cerita yang ditemukan Guru dari Nazareth untuk membongkar tendensi orang yang memandang diri benar dan merendahkan orang lain, seperti dalam dongeng Yunani Romawi itu. Hanya saja, dia meletakkan konteks yang tak ada dalam dua dongeng Yunani Romawi: orang lancang itu sedang berdoa! Protagonisnya adalah orang Farisi yang memang sudah memenuhi seluruh kewajiban hukum agama dengan baik.

Apakah Guru dari Nazareth mengkritiknya karena memenuhi kewajiban agama? Ah ya tentu tidaklah! Ia mengkritik karakter itu karena kaitannya dengan sikap adil. Karakter Farisi ini membombong dirinya di hadapan Allah dengan membandingkan dirinya dengan orang lain. Nah, keluar deh karakter Narcissus dalam dirinya tadi, dan seperti dongeng Phaedrus, tak bisa melihat kesalahan diri sendiri dan mudah sekali melihat kesalahan orang lain.
Apakah ini karakter langka? Tentu tidak. Barangkali semua orang punya tendensi begitu dan karenanya, saya kira, itu mah bisa dimaklumilah. Yang bikin runyam adalah kalau tendensi itu dibawa ke ranah hubungan dengan Allah. Ini yang dikecam Guru dari Nazareth.

Ketika doa jadi semacam trampolin untuk melambungkan diri sendiri dengan menginjak yang lain, itu bukan lagi doa. Loh, ya memang fungsi trampolin kan untuk itu toh, Rom?
Lha ya justru karena itu. Mainlah trampolin, jangan sebut itu lagi berdoa!
Sebagian orang seperti katak yang menginjak katak lain supaya bisa nongol ke permukaan air. Lha piyé, mau jadi katak yang seperti itu? Mau, Rom, caranya gimana
Gampang. Sering-seringlah berdoa ke gereja, masjid, kelenteng, dan lain-lain, trus kritiklah apa saja yang di “luar sana”, menyalahkan suasanalah, menyalahkan orang lainlah, menyalahkan masa lalulah, menghakimi orang lainlah.

Hidup orang Farisi macam itu ribet dengan identitas yang dibangunnya: gak jadi koruptor, rajin beribadat, puasa, amal, dan seterusnya. Pokoknya, yang jadi fokus perhatiannya pada saat berdoa adalah apa yang dibuat atau diusahakannya sendiri. “Aku kurang apa, Tuhan, aku sudah bikin ini itu, sudah mengusahakan ini itu.” Pokoknya “aku”.
Sebaliknya, doa pemungut cukai itu lebih gentle. Karena doa adalah hidup di hadirat Allah, dia berfokus pada apa yang (bisa) dibuat Allah. “Tuhan, kasihanilah aku.” Dengan kata lain, doa yang direkomendasikan Guru dari Nazareth ialah doa yang memberi tempat lebih besar pada Allah, daripada diri sendiri atau orang lain.

Tuhan, mohon rahmat kebijaksanaan untuk bertekun dalam hukum-Mu dengan kerendahan hati, tanpa merendahkan sesama. Amin.


MINGGU BIASA XXX C/1
27 Oktober 2019

Sir 35,12-14.16-18
2Tim 4,6-8.16-18

Luk 18,9-14

Posting Tahun 2016: Dua Model PDKT