Ternyata saya belum siap mati. Itulah kesimpulan saya kemarin pagi setelah treadmill. Meskipun lebih senang jogging di ruang terbuka, kemarin memang saya pilih treadmill di rumah, yang tak ada sirkulasi udara meskipun jendela-jendela sudah saya buka. Setelah gembrobyos, sayangnya saya kebelet BAB, dan hitung-hitung sebagai cooling down, saya duduk manis di kloset di samping (sampingnya jauh banget) pak kusir yang sedang bekerja dan pada saat itulah pandangan saya mulai kepyur dan terus meredup. Usaha untuk menyedot sebanyak mungkin udara pun tak membantu. Suasana ini pernah saya alami dua puluh tahun lalu, tetapi saat itu saya punya teman di sebelah saya dan sebelum pandangan berangsur gelap, saya sudah menarik teman saya untuk keluar ruangan mencari udara segar dan sebelum sampai di pintu saya memeluk teman saya ini (sayangnya kok sama-sama laki-laki, haaaaaa), dan kemudian saya dengar bagaimana orang-orang berdatangan membopong saya. Saya kira waktu itu saya mati, ternyata belum.
Kemarin pagi itu saya (pas) tidak bersama teman saya itu di kamar mandi, jadi tak ada yang bisa saya peluk dan pada saat pandangan semakin gelap itu saya mesti ambil keputusan sebelum nggeblak. Sembari doa nafas pelan-pelan saya bangkit dari kloset [eh, jangan dibayangkan ya!], lalu berlutut dan bersujud, lalu rebahan. Saya ingat cerita di tempat pendidikan dulu ada senior yang sehabis main sepak bola lalu rebahan di bangsal tidur, dan bablaslah ia, meninggal dunia. Saya tak mau kejadian itu menimpa saya, maka setelah bersujud saya terus rebahan tertelungkup sambil terus menata pernafasan. Rasanya lebih enak telentang, tetapi saya belum siap mati!
Kenapa orang tak siap mati? Mohon jawab sendiri-sendiri ya, hahaha. Kalau saya sih karena banyak dosa dan hutang. Minggu ini mesti membuat dua presentasi, belum ujian komprehensif, belum buat proposal, dan seterusnya. Lha, kalau dituruti rak tiada habisnya alasan yang bisa disodorkan.
Akan tetapi, akhirnya, mati itu, entah Anda siap atau tidak, ya mati aja, suka-suka kapan malaikat penjemputnya datang. Sebagian orang tampak siap menyongsong kematian. Sebagian lainnya bahkan siap dengan kematian untimely. Sebagian orang lainnya mati dengan menumpang mobil yang meluncur ke jurang, dan seterusnya. Singkatnya, siap atau tidak, jadi tidak begitu relevan di hadapan kematian.
Syukurlah, teks bacaan hari ini tidak omong soal siap-siap mati, melainkan siap hidup: senantiasa berjaga-jaga, juga meskipun kematian mengintai (alias mesti siap mati juga). Itu jauh lebih bermanfaat daripada siap-siap mati sebagaimana sejak zaman jebot dicontohkan oleh sekte-sekte religius yang secara bodoh meramalkan kiamat dan, lagi-lagi karena prinsip cari selamat sendiri, tidak memberi kontribusi signifikan bagi peradaban manusia. Begitulah orang yang tidak siap hidup, ia mempromosikan kultur kematian: sampah, hoaks, janji palsu, korupsi, dan sebagainya. Yang siap hidup itu menularkan harapan kegembiraan sebagaimana seorang dokter mengingatkan saya: hari ini Tuhan bertindak, mari kita rayakan dengan gembira.
Tuhan, mohon rahmat keberanian supaya kami hari ini dapat mempromosikan kultur kehidupan yang membawa harapan kegembiraan bagi seluruh ciptaan. Amin.
†My brother, Singgih, rest in eternal peace.
SELASA BIASA XXIX B/2
23 Oktober 2018
Selasa Biasa XXIX A/1 2017: Selamat (Jaga) Malam
Selasa Biasa XXIX B/1 2015: PHP Tuhan
Selasa Biasa XXIX A/2 2014: Dengar Dia Panggil Namamu?
Categories: Daily Reflection