Halo Figur Publik

Sebenarnya saya ingin mewawancarai Anda, tokoh publik dengan penggemar dan followers yang sebanyak bintang di langit dan pasir di laut, tetapi apa daya, saya tak tahu di mana Anda berada. Padahal saya tidak tahu Anda itu siapa.😭
Pertanyaan saya sederhana saja sih: hal apa dari para penggemar dan followers yang paling membahagiakan Anda? Tentu tak usah bilang bahwa Anda bahagia tanpa syarat, tetapi ganti saja kebahagiaan itu dengan kesenangan deh: hal apa dari para penggemar dan followers yang paling menyenangkan Anda atau yang membuat Anda merasa tersanjung?

Saya sodorkan alternatif jawabannya. Pertama, mereka kasih jempol kepada setiap posting Anda. Kedua, mereka berdandan dan bergaya seperti Anda. Ketiga, mereka senantiasa memuji Anda. Keempat, mereka membagikan posting Anda. Kelima, mereka memberikan donasi kepada Anda. Keenam, mereka memetik nilai yang Anda sodorkan dengan status dan tanggung jawab mereka masing-masing.  Kalau jawaban Anda klop dengan alternatif keenam, saya jamin yang melakukannya maksimal cuma sepuluh persen dari total penggemar dan followers Anda yang jutaan atau milyaran itu. Nah, kalau ternyata lebih dari sepuluh persen, berarti jaminan saya gak valid ya.😂

Barangkali, kalau Anda memilih alternatif keenam, Anda senasib dengan Guru dari Nazareth. Sekurang-kurangnya, itulah yang bisa saya mengerti dari teks bacaan hari ini. Ia membetulkan posisi ketercengangan orang yang berseru betapa bahagianya ibu yang melahirkan dan menyusui bayi Guru dari Nazareth ini. Bagaimana membetulkan posisinya?
Singkatnya, ia menegaskan bahwa ibunya, Maria, berbahagia bukan karena telah mengandung dan menyusuinya, yang cuma terjadi dalam durasi beberapa bulan atau tahun saja, melainkan karena Maria mengedepankan pencarian kehendak Allah dan realisasinya. Seakan disumpah sebagai anggota dewan perwakilan rakyat, ia tidak mementingkan ikatan darah atau klan asalnya lebih daripada usaha untuk membangun kehidupan bersama yang lebih baik lagi.

Agama, semestinya merepresentasikan konteks sosial seperti itu, dan de facto memang sebagian agama mengatasi ikatan klan atau suku. Nah, yang bikin repot ialah agama yang sedemikian itu jadi sok tahu dan sok kuasa, seakan-akan yang punya niat membela kepentingan umum hanya dirinya sendiri. Ujung-ujungnya, agama balik lagi jadi sektarian seperti klan dan suku tadi. Dalam keadaan itu, segala litani sumpah serapah bisa dilekatkan padanya. 

Syukurlah, agama seperti itu bukan agama Anda. Kalau Anda mendapati agama Anda punya tendensi begitu, syukurnya, Anda bisa menghancurkan tendensinya. Bagaimana menghancurkannya? Ya dengan menghancurkan tendensi sektarianisme, primordialisme, tribalisme, dan sejenisnya dalam diri Anda sendiri. Dalam masyarakat yang akrab dengan kemunafikan ini, kita tahu sama tahu bahwa NKRI ini kaya raya tetapi tidak maju-maju lantaran penjarahan belum dapat dibuktikan atau memang pihak yang punya wewenang tak mau membuktikannya. Tentu saja, karena untuk itu orang harus menghancurkan tendensi yang tadi dilekatkan kepada agama itu.

Padahal, problemnya tidak terletak pada agamanya, melainkan orang-orang yang membangun agama itu. Banyak doa dari pulau asal mantan gubernur ibu kota yang pernah dipenjara karena isu agama. Semoga semua makhluk berbahagia. Amin.


SABTU BIASA XXVII C/1
12 Oktober 2019

Yl 3,12-21
Luk 11,27-28

Sabtu Biasa XXVII B/2 2018: Game of Words
Sabtu Biasa XXVII A/1 2017: Jomblo Enak Gak Eaaa
Sabtu Biasa XXVII C/2 2016: Revolusi Spiritual

Sabtu Biasa XXVII B/1 2015: Gosip Ah…
Sabtu Biasa XXVII A/2 2014: Lebih Baik dari ASI, Adakah?