Ada sebagian orang yang butuh waktu begitu lama untuk menerima bahwa dirinya tertipu.
Sebagian lagi, sebelum tertipu, sudah menerima dirinya akan ditipu.
Sebagian yang lain, sampai hayat tak lagi dikandung badannya, tak pernah menyadari bahwa dirinya tertipu.
Saya tidak tahu Anda tergolong yang mana, tetapi satu hal yang saya hendak ingatkan kembali: selama Anda dan saya terpukau oleh hal yang wang-sinawang, selama itulah badan kita tidak mengandung hayat. Bisa saja pêcicilan pêtèntang pêtèntèng ke sana kemari tetapi tanpa hayat, alias tiada kehidupan.
Terpesona oleh hal yang wang-sinawang itu memang bisa memantik kekaguman yang mengarahkan orang pada ilmu pengetahuan. Bahkan, kekaguman itu bisa juga memicu rasa syukur atas ciptaan-Nya. Akan tetapi, kelamaan memelihara keterpesonaan pada hal yang wang-sinawang itu akan membuat berhala bagi yang terpesona tanpa ia sadar bahwa yang dielu-elukannya adalah berhala alias ibadah palsu…. eh kok malah ibadah. Lha iya bisa juga sih ibadah palsu, bukan cuma ijazah yang bisa palsu. Ibadah palsu, tak jauh dari ijazah palsu, bisa jadi cara pengalihan isu, dan orang lugu tertipu oleh keyakinan semu.
Wanti-wanti yang diletakkan pada mulut Yesus dalam teks bacaan hari ini merujuk pada Bait Allah yang tidak bisa disejajarkan dengan tempat ibadah yang megah, tetapi dengan gaya hidup yang menggugah kesadaran orang akan karakter yang takkan terombang-ambing oleh pesona wang sinawang. Karakter seperti ini bisa jadi terbangun dari kebiasaan-kebiasaan kecil yang memuat kesadaran hidup sewajarnya seperti tersirat dalam teks bacaan kedua: ini bukan perkara transaksional bahwa orang bekerja mendapat upah dan yang tak bekerja tak layak dapat makan, melainkan perkara hidup yang dipertanggungjawabkan dengan kejujuran dan kerja keras di tengah abainya pemangku pranata sosial.
So, ibadah palsu merujuk pada perkara wang sinawang yang memang terhubung dengan simbol agama tetapi tak sambung dengan pranata sosial. Celakanya, ibadah palsu ini justru dipelihara mereka yang semestinya menata kehidupan sosial. Tambah lagi, penginthil mereka ini tidak kalah banyaknya, dan mungkin Anda dan saya adalah salah satu penginthilnya. Dalam bahasa Jawa, inthil adalah butir-butir kotoran kambing, yang umumnya mengikuti ke mana kambing berjalan; tidak mendahului kambingnya.
Semoga Anda dan saya diberi keteguhan hati untuk membangun harapan di tengah dunia yang abai terhadap pranata sosial ini lewat kejujuran dan kerja keras. Amin.
MINGGU BIASA XXXIII C/1
16 November 2025
Mal 4,1-2a
2Tes 3,7-12
Luk 21,5-19
Posting 2019: Obat Setrong
Posting 2026: Work with God, No Matter What
