Pendekatan intuitif terhadap teks yang mengandalkan common sense mungkin lebih banyak dipakai para penikmat sastra. Hermeneutika membantu pembaca bukan hanya untuk mengorek maksud pengarang (yang tidak selalu sukses), melainkan juga untuk sebuah transformasi hidup pembaca. Kok bisa? Ya, soalnya dengan membaca, si subjek ini terbantu untuk memahami diri secara lebih baik.
Membaca (lebih-lebih karya sastra) melibatkan bukan hanya dimensi kognitif, melainkan juga dimensi afektif maupun volutif (penghendakan). Masuk akal, beberapa karya sastra dibredel oleh rezim penguasa karena karya sastra bisa sungguh mengubah orang, menggerakkan orang untuk berbuat sesuatu, bukan karena diprovokasi dari luar, melainkan karena dalam diri pembaca ada dinamika yang bergejolak (dimensi afektif dan volutifnya bekerja). Itulah yang dimaksud sebagai dimensi eksistensial hermeneutika.
Hermeneutika juga berdimensi fenomenologis dalam arti bahwa ia memberi ruang pada intensionalitas. Pemahaman bukanlah gerak searah, melainkan gerak timbal balik antara subjek dan objek. Penafsiran tidak ditentukan oleh dinamika internal penafsir saja, tetapi juga oleh ‘upaya’ objek untuk menampakkan dirinya. Tidak bisa subjek melihat secara transparan begitu saja, pasti ada mediasi tertentu (lha kalau tidak ada mediasi namanya intuisi). Misalnya, orang melihat sebuah fatamorgana air pada jalan aspal. Pada saat melihat hal itu ia memahami objeknya adalah air, tetapi ‘air’ itu ternyata hanyalah ilusi akibat panas aspal. Setelah ia mendekat, tahulah ia bahwa yang dilihatnya tadi bukan air, melainkan bias panas aspal. Demikianlah ‘air’ tadi ‘menampakkan’ dirinya.
Contoh itu tentu saja memiliki sifat mediasi yang berbeda dari hermeneutika dalam membaca. Mediasi melalui teks membuat hubungan dialog intersubjektif antara pengarang dan pembaca terputus. Pengarang tidak hadir pada saat teks dibaca, sebaliknya, pembaca tidak hadir pada saat teks ditulis. Dimensi kritis hermeneutika perlu dipertimbangkan.
Ada dua tugas hermeneutika. Yang pertama, ia mesti mencari sasaran (dunia teks) yang dibidik oleh struktur suatu karya, terlepas dari apakah pengarangnya sebenarnya memaksudkan A atau B. Hermeneutika tidak terobsesi dengan maksud pengarang yang tidak tertuang dalam struktur karyanya. Harap maklum, suatu karya jauh lebih luas daripada maksud pengarang. Misalnya, seorang penulis bisa saja memasukkan naskah observasinya terhadap kampung kumuh dengan maksud supaya pembaca memiliki kepedulian sosial terhadap kampung yang diliputnya. Ternyata setelah dipublikasikan, tulisannya justru mendapat penghargaan dari LSM karena unsur kemandirian sumber daya yang disodorkannya. Ini di luar dugaan penulis. Itulah yang dimaksud sebagai trajectory.
Yang kedua, hermeneutika mesti menemukan kemampuan teks untuk memproyeksikan diri ke luar dan melahirkan dunia teks tadi, yang merupakan pesan utama teks itu sendiri. Ini yang tadi dimaksud sebagai ‘upaya’ objek menampakkan diri, yaitu strukturnya.
Singkatnya, hermeneutika bertugas menemukan dunia teks berdasarkan struktur internal teks. Paul Ricoeur memahami teks (sebagai objek hermeneutika) sebagai wacana yang terfiksasi dalam tulisan. Bagaimana hermeneutika menjalankan dua tugas itu?
Mempertimbangkan bahwa ada empat unsur pembentuk wacana (subjek yang membuat pernyataan, isi pernyataan, tujuan pernyataan disampaikan, konteks temporal penyampaian pernyataan itu), Ricoeur mengusulkan empat unsur hermeneutika:
- Distansiasi objek hermeneutika melalui tulisan. Yang harus menjadi objek hermeneutika adalah wacana yang sudah terfiksasi melalui tulisan. Kenapa? Karena kalau belum tertulis, wacana itu masih bisa digonta-ganti toh oleh pengarangnya. Fiksasi wacana dalam teks menjadi syarat supaya teks otonom terhadap pengarangnya dan itu berarti sudah terdistansiasi, berjarak. Begitu wacana tertuliskan sebagai teks, ia otonom terhadap maksud pengarang, terhadap situasi kultural dan sosiologis yang melatarbelakangi pembuatan teks, dan terhadap pembaca awal (implied reader atau original adressee).
- Objektivasi melalui struktur, logika antara unsur-unsur yang ada dalam struktur teks demi menemukan suatu dunia teks. Objektivasi ini menolak pandangan bahwa makna teks akhirnya bergantung pada subjek yang menafsirkan. Gagasan ini juga mengingkari otonomisasi teks. Teks itu punya ‘dunia’ sendiri yang bahkan melampaui dunia pengarang maupun dunia pembaca. Itu tadi yang dimaksud sebagai lintasan makna (trajectory).
- Dunia teks yang terumuskan sebagai pokok persoalan (dengan sudut pandang pembaca sendiri): tak dibatasi baik oleh intensionalitas pengarang maupun prasangka atau kepentingan pembaca saja.
- Pemahaman diri/apropriasi. Unsur ini penting supaya dunia teks punya makna, supaya menjadi milik pembaca atau penafsir, yaitu ketika dunia teks itu terhubung dengan dunia konkret pembaca. Relasi dunia teks dan pembaca ini bisa dinamakan pembauran cakrawala (fusion of horizons ala Gadamer) yang pada gilirannya mengubah dunia pembaca melalui pemahaman diri, bagaimanapun caranya (kritik ideologi, dekonstruksi, analogi permainan).
Dua unsur pertama merupakan kutub objektif penafsiran, sedangkan dua unsur terakhir adalah kutub subjektifnya. Dengan demikian, hermeneutika semestinya menghindarkan pembaca dari tafsiran yang rigid terhadap teks, entah ekstrem subjektif atau ekstrem objektif. Kutub objektif penafsiran bisa dilakukan dengan memakai misalnya pendekatan naratif, baik analisis naratif maupun analisis struktural. Kutub subjektif penafsiran bisa dibuat dengan memperhatikan sudut pandang, kompetensi pembaca dalam menghubungkan dunia teks dengan kehidupan nyatanya, yang diimbangi dengan sikap kritis terhadap ideologi atau kepentingan dirinya.
Dengan dua kutub penafsiran ini, orang mengalami transformasi diri setelah membaca teks.
6 replies ›