Hati Teroris

Published by

on

Saya tak yakin apakah teroris sadar diri bahwa mereka adalah korban indoktrinasi, tetapi saya yakin bahwa korban indoktrinasi cenderung menjadi teroris, bagaimanapun teroris itu mau diartikan. Yang negatif barangkali bisa diatributkan pada mereka yang memakai kekerasan fisik. Yang kurang negatif mungkin bisa diwakili oleh mereka yang memberi embel-embel iman pada kata teror dan tidak sampai menggunakan kekerasan fisik. Keduanya tetap berbasis ‘doktrin’, yang hendak direalisasikan entah dengan kekerasan verbal maupun fisik. Loh, apa salahnya dengan basis doktrin? Bukankah tanpa doktrin orang tak sampai pada kebenaran? Bukankah tanpa pengajaran dari guru, seorang anak tak mampu memahami kebenaran ilmu pengetahuan?

Paulus sendiri menegaskan bahwa iman muncul dari pendengaran. Pendengaran apa lagi kalau bukan pendengaran ajaran iman? Setiap orang beriman tak pernah dari dirinya sendiri beriman. Ia mesti sekurang-kurangnya mendengar kebenaran dari orang lain, bagaimanapun caranya. Seiring waktu, iman itu akan terus dipupuk dengan pengetahuan ajaran iman yang bertambah. Jadi, memang doktrin agama itu penting bagi perkembangan iman seseorang. Kalau begitu, kenapa basis doktrin itu malah dijadikan kambing hitam bagi terorisme?

Teks Injil hari ini senada dengan teks yang dibacakan 18 hari lalu (Transformer). Yesus tahu bahwa orang buta (dan pada umumnya pendengar Yesus) itu berpegang pada doktrin yang keliru (menurut versi Yesus, tentu saja). Akan tetapi, Yesus sadar bahwa iman tidak mungkin hanya dikungkung oleh pengetahuan akan doktrin yang benar, karena biar bagaimanapun doktrin itu menggunakan rumus manusiawi. Seperti rumus kimiawi, doktrin itu bisa dipecahkan dengan utak atik otak. Padahal, iman sendiri lebih daripada sekadar utak atik otak. Maka dari itu, Yesus tidak hendak menghambat iman orang buta itu dengan doktrin yang semestinya dimiliki orang buta itu.

Alasannya bisa dimengerti. Doktrin kebenaran iman diterima melalui penalaran, melalui logika berpikir orang. Logika dan penalaran itu bisa saja salah. Itu tak perlu jadi masalah asalkan orang punya keterbukaan dalam berpikir. Kebenaran iman sendiri diterima melalui hati, yang bisa kita mengerti dengan analogi orang yang mengalami cinta: The heart has its reasons which reason knows nothing of… We know the truth not only by the reason, but by the heart (Blaise Pascal). Kebenaran iman tak mungkin dicapai melulu dengan doktrin yang benar, tetapi justru melalui hati yang memberi daging terhadap doktrin itu.

Jika orang hanya hidup dari doktrin, otaknya tak terbuka terhadap bisikan hati. Ia terindoktrinasi, hidup dipandangnya dari kacamata doktrin: yang benar ditegakkan, yang salah dihancurkan! Begitulah teroris. Seandainya ia mendengar suara hati sedikit saja, ia toh tetap akan menegakkan kebenaran, tetapi tidak dengan menghancurkan yang dianggapnya salah, melainkan dengan dialog yang malah bisa memperluas wawasannya. Yesus tidak mempersoalkan gagasan orang buta itu mengenai ‘Anak Daud’, tetapi masuk ke pokok pentingnya apakah ia percaya bahwa yang disebutnya ‘Anak Daud’ itu bisa menyembuhkan. Kebenaran punya caranya sendiri untuk menarik orang secara lembut.

Allah yang mahamurah, jadikanlah hati kami lembut seperti hati-Mu. Amin.


HARI JUMAT ADVEN I
4 Desember 2015

Yes 29,17-24
Mat 9,27-31

Posting Tahun Lalu: T3M atau M3T?