Hello Bystander!

Published by

on

Gunung pertama yang saya taklukkan judulnya adalah Sumbing, 3.371 meter di atas [mosok di bawah] permukaan laut. Tentu, maksudnya ialah saya menaklukkan diri saya di Gunung Sumbing itu. Pada sepuluh menit pertama mendaki, saya mendongakkan kepala dan melihat puncak di kejauhan sana dan merasakan nafas saya sudah terasa berat. Teman-teman tampaknya merasa ringan [meskipun bisa jadi mereka berpikiran yang sama juga], gengsi juga rasanya mau membalikkan badan kembali ke tempat kepala desa.

Akan tetapi, sebetulnya saya benar-benar merasa tak sanggup, lha wong berjalan baru beberapa ratus meter saja sudah tersengal-sengal (meskipun dibuat sesopan mungkin supaya tak terdengar oleh teman-teman). Saya sungguh ingin berteriak,”Sudah, aku mau balik aja!” Syukur alhamdulillah, sebelum saya merealisasikan keinginan itu, pemimpin rombongan menghentikan langkahnya. Lumayan, bisa ambil nafas lebih tenang! Setelah itu, tak muncul lagi pikiran untuk kembali, meskipun medannya jadi lebih curam dan berat.

Kapan orang berpikiran untuk mundur? Saya kira, itu terjadi ketika dalam perjalanannya orang melihat penderitaan di depan. Kemarin ada seminar mengenai radikalisme dan seorang peserta secara jeli melihat bagaimana imaji kekerasan lebih menggerakkan orang untuk terlibat dalam kekerasan daripada imaji belas kasih yang simpatik memantik orang untuk terlibat dalam tindakan empatik. Tentu saja, imaji kekerasan ditawarkan dalam konteks propaganda yang menjanjikan keindahan hidup sebagai ganjaran, sedangkan imaji belas kasih hanya menyodorkan nilai empatik tadi tetapi langsung jelas konsekuensi yang perlu diambil: kesusahan, kerepotan, tanggung jawab, penderitaan. Kalau orang mau terlibat, ia mesti mengambil tanggung jawab!

https://static.independent.co.uk/s3fs-public/styles/story_medium/public/thumbnails/image/2015/09/02/20/web-refugee-crisis-2-reuters.jpg
https://static.independent.co.uk/s3fs-public/styles/story_medium/public/thumbnails/image/2015/09/02/20/web-refugee-crisis-2-reuters.jpg

Paling gampang adalah jadi bystander, tak ambil risiko, tak ambil tanggung jawab. Dengan demikian, bisa jadi memang ada jauh lebih banyak orang beragama daripada orang beriman. Mungkin juga lebih banyak orang yang gagal beriman kepada Allah di hadapan penderitaan. Orang lebih gampang lari mencari ilah daripada dengan ‘tenang’ menghadapi penderitaan dan mendengar suara-Nya,”Tinggallah bersama-Ku.” Orang lebih mudah jatuh dalam godaan untuk menghakimi Allah daripada berusaha mendengarkan bisikan-Nya,”Tinggallah bersama-Ku dalam salib penderitaan ini.”

Tuhan, mohon kekuatan supaya alih-alih menghakimi-Mu, kami bertekun dalam kerasnya hidup dalam kebenaran-Mu. Amin.


RABU BIASA XXVI C/2
28 September 2016

Ayb 9,1-12.14-16
Luk 9,57-62

Posting Rabu Biasa XXVI B/1 2015: Tak Semudah Omongannya
Posting Rabu Biasa XXVI A/2 2014: Tak Sayang, Tak Kenal

Previous Post
Next Post