Ada ingatan akan leluhur yang ‘kosong’, tetapi ada juga pengenangan leluhur yang kreatif. Ingatan kosong biasanya berupa romantisme yang berorientasi ke masa lalu, hidup dalam ‘berandai-andai’, hidup dalam penyesalan masa lalu terus, yang tidak bikin orang bisa move on. Ingatan macam ini tidak banyak gunanya, jika ada. Ingatan ini tidak menghidupkan kembali pribadi leluhur yang sudah meninggal.
Ingatan kreatif menolong orang untuk melakukan hermeneutika: bukan sosok orangnya yang diutamakan, melainkan nilai-nilai yang dihidupinya. Ingatan kreatif menangkap nilai cita-cita perjuangan leluhur, melepaskannya dari konteks lama dan memberi konteks baru. Ingatan kreatif ini dekat dengan hati nurani yang justru bisa ‘menghidupkan’ kembali pribadi yang sudah meninggal.

Katakanlah nenek moyang kita punya kemampuan gaib dan dengan itu mampu melindungi, merawat, dan mendidik anak-anaknya. Ingatan romantis berfokus pada kemampuan gaib kakek nenek buyut, sedangkan ingatan kreatif berfokus pada cinta mereka, kesetiaan, perhatian, penderitaan demi pendidikan anak-anak.
Bacaan kedua hari ini diambil dari perikop yang berkonteks pengajaran melalui perumpamaan. Mengapa Orang Gila dari Nazaret itu lebih banyak omong melalui perumpamaan daripada mengulas aturan hidup beragama? Bukankah dengan membahas tata aturan agama segala hal yang konkret dan detil bisa dipahami secara gamblang dan jelas? Mengapa juga dia katakan mereka yang mendengarnya berbahagia (karena banyak orang ingin mendengar langsung dari Yesus tetapi tak bisa)?
Perumpamaan atau parabola jauh lebih efektif memantik ingatan kreatif orang. Dengan perumpamaan, orang ditantang untuk melihat substansi persoalan. Orang seperti ini sadar betul bahwa perumpamaan punya keterbatasan dalam hal detil, tetapi ia berusaha menangkap poin yang jauh lebih penting daripada detil-detil sampingan yang tak memengaruhi pesan atau nilai utama.
Dengan ulasan hukum tanpa pemahaman menyeluruh (dan jauh lebih banyak umat yang buta hukum tentu saja), orang ada dalam bahaya formalisme dan kehilangan substansi. Maka ia sibuk dengan struktur dan berupaya melindungi masa lalunya yang romantis (entah baik atau buruk) dengan mencari celah-celah hukum. Orang seperti ini sebetulnya sakit, dan contohnya sudah mengemuka di hari-hari pasca pengumuman KPU; banyak orang sakit bermunculan di media.
Mungkin ada baiknya 9 Juli, 22 Juli atau 25 Juli ditetapkan sebagai hari orang sakit nasional, hahaha. Gereja Katolik sudah menetapkan hari orang sakit sedunia tanggal 11 Februari dengan maksud supaya umat kristiani memperhatikan orang sakit. Nah, kalau hari orang sakit nasional kiranya untuk mengingat bahwa pada tanggal itu pada tahun 2014 di Indonesia ada banyak orang sakit yang tingkahnya begitu infantil dan lucu sampai bahkan di hadapan Mahkamah Konstitusi juga.
Oalah, Mo, kalau sampai ada hari orang sakit nasional seperti itu mah bukannya ingatan kreatif yang dipelihara, melainkan ingatan ‘kosong’, gak bikin move on. Bukannya kita mau mempromosikan ingatan kreatif?
Oh iya dhing, lupa. Ternyata saya juga sakit!
PERINGATAN WAJIB ST. YOAKIM DAN ANNA
(Sabtu Biasa XVI A/2)
26 Juli 2014

One response to “Perlu Hari Orang Sakit?”
[…] Kisah Marta yang lain barangkali bisa memantik inspirasi: sepeninggal Lazarus, ia memang sudah punya kepercayaan bahwa ada kebangkitan orang mati kelak pada akhir zaman. Perjumpaannya dengan Yesus lambat laun mengubah kepercayaannya itu: Yesus adalah kehidupan itu sendiri, tak perlu menanti sampai kiamat! Dengan begitu, ‘mendengarkan Sabda’ berarti soal berjumpa dengan kehidupan dan memberi hidup pada setiap aktivitas: apapun dan bagaimanapun makanannya, berilah hidup pada setiap tindakan, kesibukan; berilah nyawa, greget, semangat, dan sejenisnya! Just do what you do! Tak perlu pusing, iri, jengkel, marah terhadap apa yang orang lain lakukan (karena tak sesuai dengan yang kita pikirkan). Orang beriman tak perlu disetir oleh aneka kecemasan yang muncul dari kerempongan hidup tetapi juga tidak menghabiskan waktu untuk bengong menikmati ingatan kosong. […]
LikeLike