Kasus spanduk “Tuhan Membusuk” tak sepopuler kasus Florence meskipun kontroversial. Panitia penyambutan mahasiswa baru di UIN Surabaya menjelaskan pengertian frase ‘Tuhan membusuk’ sebagai kritik terhadap penyalahgunaan nama Tuhan oleh kelompok-kelompok tertentu. Ada yang bisa menerima, tetapi ada juga yang begitu keras menentangnya. Saya tak tahu apakah yang menentang itu sudah paham maksud spanduk, tapi yang sudah memahami pun masih bisa memberi catatan seperti disampaikan Dekan: supaya mahasiswa “mempertimbangkan efek dari tema itu“.
Spanduk tampaknya lebih cocok sebagai sarana propaganda atau iklan daripada sebagai jembatan antara dunia filsafat-teologi dan masyarakat. Karena itu, tak mengherankan bahwa spanduk besar seperti “Tuhan Membusuk” itu menuai reaksi miring:
Dari dua tanggapan itu saja sudah kelihatan bahwa kita memang tidak melek filsafat, apalagi teologi. Orang tak sadar bahwa bahasa apapun yang dipakai manusia untuk mengungkap “Dzat Tuhan” tak akan memadai. Selalu dibutuhkan penjelasan, bahkan untuk menjelaskan penjelasannya sendiri! Spanduk “Tuhan Membusuk” itu, meskipun diberi keterangan di bawahnya, toh tetap tidak membantu penjelasan. Akan tetapi, barangkali mereka yang protes justru perlu rendah hati untuk mau belajar (meskipun konseptor spanduk tersebut juga perlu belajar sesuatu mengenai spanduk dan tips komunikasi sosial, misalnya) lebih sedikit.
Catatan saya lebih menyangkut soal paham Allah sendiri. Kata ‘Allah’, sesuci apapun pengertiannya, tak pernah bisa diidentikkan dengan ‘Dzat Tuhan’ sendiri karena Allah tak pernah bisa dijadikan objek. Begitu jadi objek, “Dia” bukan Allah lagi, melainkan konsep manusia mengenai Allah. Ini berbeda dari antropologi, biologi, ilmu kedokteran, ekonomi, geologi, dan sebagainya. Jogja dan agama masih bisa diobjekkan: orang-orang, pemeluk, sistem pemerintahan, sistem peribadatan, dan sebagainya. Akan tetapi, kalau orang bicara mengenai Allah, apanya yang dijadikan objek? Sifat-sifat-Nya! Jadi, yang dibahas adalah sifat-sifat, bukan Allah-nya sendiri.
Ini berlaku juga untuk pernyataan yang dianggap lebih bijak: Gusti ora sare (Tuhan tidak tidur). Lah, memangnya Tuhan gak ngantuk po? Ini jelas subjek kalimatnya Tuhan, bukan? Akan tetapi juga jelas bahwa yang diungkap di situ bukan “Dzat Tuhan” sendiri! Itu adalah pernyataan mengenai penghayatan orang yang berelasi dengan Tuhannya, yang hanya bisa dipahami oleh orang yang juga punya relasi dengan Tuhan seperti itu. Oleh karena itu, apapun pernyataan orang mengenai Tuhan pastilah bukan “Dzat Tuhan” itu sendiri. Tidak mungkin!
Dengan begitu, bisa dipahami bahwa ada tradisi agama yang untuk menyebut nama-Nya pun tidak diperkenankan, saking suci dan tak terjangkaunya nama “Dzat Tuhan” itu. Bisa dipahami juga bahwa ada tradisi agama yang merumuskan aneka macam pertuhanan meskipun menyatakan bahwa Allah itu esa.
Dalam komunitas orang-orang yang percaya pada Tuhan yang esa, jika hal ini tak disadari, orang akan jatuh pada fanatisme yang sempit; justru karena meyakini bahwa ia sudah sampai pada “Dzat Tuhan”, padahal yang dia pegang hanyalah konsep mengenai “Dzat Tuhan” itu. Orang merasa membela Tuhan, padahal yang dibelanya adalah konsep-konsepnya sendiri mengenai Tuhan! “Dzat Tuhan” kiranya punya mekanisme sendiri untuk membela diri-Nya sendiri dan mekanisme ini ada di luar kemampuan pikiran manusia.
Yang dibutuhkan dewasa ini saya kira bukan lagi pembelaan Tuhan dalam arti apologetik untuk melawan ateisme (lewat filsafat ketuhanan misalnya), melainkan kesaksian relasi orang dengan “Dzat Tuhan” itu dan meresapi hidup sehari-hari manusia (lewat kerohanian yang dikritisi oleh teologi seturut keyakinan agama masing-masing). Perbedaan penghayatan relasi manusia dan “Dzat Tuhan” ini semestinya justru membantu orang terbuka dan sujud tafakur bahwa Allah memang mahabesar, melampaui agama manapun: ia ‘dituntut’ untuk bukan sekadar berbincang-bincang tentang Tuhan, melainkan berbincang-bincang dengan Tuhan dalam hidupnya.
Categories: Personal Notes
You must be logged in to post a comment.