Orang cenderung berpikir bahwa kekuatan doa itu diukur dari prinsip kegunaan: seolah-olah doa adalah sebuah mantra terhadap kehidupan. Orang yang sakit minta didoakan dengan imajinasi bahwa sakitnya berkurang setelah didoakan. Orang jomblo berdoa supaya dapat jodoh selambat-lambatnya pada usia 40 tahun untuk pria dan 35 tahun untuk wanita. Orang menganggur berdoa supaya dapat pekerjaan, dan seterusnya. Apakah doa seperti itu salah? Tentu tidak salah sebagai sebuah pernyataan harapan seseorang: orang berharap sembuh dari sakit, dapat jodoh dan pekerjaan, dan sebagainya.
Seringkali kesalahan terjadi karena harapan itu ditumpukan pada objek di luar si pendoa: orang lain, lembaga, masyarakat, dan Tuhan. Orang berdoa sedemikian rupa sehingga “I can get my problem solved faster“! Siapa yang memecahkan soal? Orang lain, struktur, instansi, dokter, guru, tuyul, atau Tuhan. Gak peduli. Pokoknya, saya ingin masalah ini selesai tanpa saya bersusah payah melibatkan diri di dalamnya selain dengan mengucapkan doa mantra!
Kekuatan doa terletak pada bagaimana doa itu, cepat atau lambat, mengubah cara pandang si pendoa terhadap hidupnya! Kekuatan doa yang benar tak diukur dari efektivitas realisasi keinginan dan target manusia belaka, tetapi, sebagaimana dituliskan dalam bacaan pertama, dari seberapa jauh doa itu menjembatani kehendak Allah dan hidup seseorang. Demikianlah Sabda yang keluar dari mulut-Ku: ia tidak akan kembali kepada-Ku dengan sia-sia, tetapi ia akan melaksanakan apa yang Kukehendaki, dan akan berhasil dalam apa yang Kusuruhkan kepadanya (Yes 55,11).
Tak mengherankan bahwa Yesus mengajarkan rumusan doa yang jauh beda dari aneka ritual doa yang diajarkan pemuka-pemuka agama Yahudi saat itu. Ada cara pandang baru dalam doanya. Pertama, doa itu menyapa Allah secara pribadi, secara personal, bukan sebagai objek impersonal (Allah yang mahakuasa dll). Kedua, sapaan itu tidak bersifat privat individualistik. Allah disapa sebagai Bapa bukan untuk diriku sendiri karena Dia adalah Bapa bagi semua orang. Ketiga, target doa adalah pemuliaan nama Allah sendiri. Keempat, target itu dicapai dengan realisasi keadilan sosial dengan keterbukaan atas kerapuhan manusia yang membutuhkan pengampunan serta harapan supaya tak jatuh dalam godaan dosa.
Jika doa Bapa Kami itu tak mengubah cara pandang orang yang mendoakannya, bisa jadi rumusan doa itu mandul, tetapi dari pengalaman hidup menjadi jelas bahwa yang bikin mandul adalah orang yang mendoakannya sendiri: tak pernah mau terlibat! Kok isa? Lha iya bisa dong: cuma mengejar rezeki sendiri, maunya dimaafkan tapi tak mau mengampuni, minta dijauhkan dari godaan tapi hobi memberi makan serigala! Nyaaam nyaaaam nyaaaam!
HARI SELASA PRAPASKA I
24 Februari 2015
Posting Tahun Lalu: Lord’s Prayer: Principle and Foundation
Categories: Daily Reflection