Umat Kristen yang akrab dengan Kitab Suci, jika melihat pelangi, akan segera punya asosiasi pada busur di atas awan yang jadi tanda perjanjian antara Allah dan umat manusia melalui Nabi Nuh (bacaan pertama). Menurut bacaan kedua, hanya delapan orang yang diselamatkan dari air bah pada zaman Nuh. Orang-orang lainnya musnah. Kenapa? Karena roh mereka terpenjara. Apa artinya? Roh mereka tidak taat kepada Allah. Orang-orang yang tidak taat kepada Allah, rohnya terpenjara, terbelenggu oleh iblis penggoda, yang juga mencobai Yesus.
Bacaan Injil hari ini menyebutkan bahwa Roh yang muncul saat baptisan Yesus itu menyorongkan/njlomprongke Yesus untuk berpuasa di padang gurun. Padang gurun, dalam Kitab Suci, mengingatkan pembaca pada kisah bangsa Israel terkatung-katung sebelum masuk tanah terjanji. Berapa lama? Empat puluh tahun! Di padang gurun Yesus berpuasa berapa lama? Empat puluh hari! Dari mana kita tahu bahwa bangsa Israel mengembara selama empat puluh tahun dan empat puluh hari Yesus berpuasa?
Angka empat puluh dalam Kitab Suci bermakna simbolik: keparipurnaan, totalitas, kesempurnaan. Bangsa Israel terlunta-lunta di padang gurun begitu lama sehingga seluruh generasi mengalaminya. Yesus berpuasa dan digoda setan sedemikian hebatnya sehingga godaan itu berlangsung terus sampai akhir hayatnya. Ini klop dengan tulisan Injil Lukas (4,13): sesudah Iblis mengakhiri semua pencobaan itu, ia mundur dari pada-Nya dan menunggu waktu yang baik. Artinya, godaan itu memang terus ada bahkan sampai menjelang ajal Yesus.
Dengan demikian, Yesus pun mengalami godaan yang senantiasa menyertai hidup manusia. Bedanya, dia tak pernah jatuh dalam dosa (Ibr 4,15). Kenapa? Karena ia terbuka pada Roh yang menuntunnya, berfokus pada komitmen antara Allah dan manusia; ingat pelangi tadi. Roh jahat tetap mengintai, tetapi karena fokus Yesus terletak pada Roh Allah sendiri, kejahatan itu tak berhasil menjatuhkannya.
Ada seorang perempuan penggemar berat tiramisu yang belum lama kembali dari luar negeri. Di kotanya memang ada juga toko roti yang menjual tiramisu tetapi sialnya, toko tiramisu itu sedemikian larisnya sehingga bisa dipastikan ia takkan dapat tempat parkir pada saat berangkat kantor. Kalau kosong, pasti ia akan terlambat masuk kerja. Saat pulang kantor pun padat, dan kalau ada tempat parkir, tokonya selalu kehabisan tiramisu.
Maka terjadilah pada suatu hari pantang, seharusnya pantang jajan tiramisu, ia didera kecanduan berat pada tiramisu. Sebelum berangkat kantor, ia berdoa di rumah, “Tuhan, Engkau mahamurah. Tunjukkanlah mukjizat-Mu sehingga aku percaya bahwa kalau Engkau menghendaki, pagi ini pun Engkau akan memberikan tempat kosong untuk parkir sebagai pertanda bahwa Engkau mengizinkan aku makan tiramisu.” Dan… memang Tuhan itu mahabaik dan mahamurah, ketika ia lewat pelan-pelan di depan toko tiramisu itu, mak cling! Mukjizat itu nyata, Saudara-saudara…… Ada tempat kosong untuk parkir…. setelah ia lewat di depan toko itu untuk kedelapan kalinya!
Jika orang memberi makan pada serigala jahat, tentu kejahatan itulah yang menang (dari kisah pada gambar).
Demikianlah, fokus pada kerapuhan, dosa, kelemahan, akhirnya malah membuat orang terpuruk. Tobat bukan soal pasang muka murung dan sedih semata karena dosa. Orang bisa berkeluh kesah, “Romo, saya ini susah karena lingkungan saya tak kondusif: istri saya selingkuh melulu, anak saya kurang ajar terus, orang tua saya malas setengah mati, tetangga saya maling semua!” Orang bisa punya excuse, “Saya ini sedang down bin galau, bingung bin risau; kalau ngaku dosa pun paling juga habis itu saya berdosa lagi; mengapa semua ini terjadi pada saya, kenapa setelah semua ini orang yang saya anggap paling baik itu mengkhianati saya?!!!” Begitulah fokus pada serigala jahat.
Pertobatan adalah soal memberi makan pada serigala yang baik. Maka, fokusnya bukan pada aneka kelemahan (sebutlah tujuh dosa pokok), kerapuhan hidup ini. Tak ada yang sempurna, jangan harap hidup ini perfect! Yesus tak berlama-lama menangisi Yerusalem. Ia menentukan langkah, mewartakan pertobatan dan kepercayaan kepada Injil.
Pertanyaan orang yang sungguh bertobat bukan bagaimana kita lepas dari godaan, dari jerat dosa, dari serigala jahat. Orang yang sungguh bertobat bertanya, “Aku mau apa dengan serigala yang baik?” Aku mau apa supaya Injil bisa terealisir dalam diriku? Aku mau apa supaya tetanggaku bisa lebih sejahtera? Aku mau apa supaya orang tuaku lebih bergairah? Aku mau apa supaya pekerjaanku lebih baik dari kemarin? Aku mau apa supaya komunikasi dalam keluargaku lebih transparan lagi? Aku mau apa supaya dengan rahmat Allah Ekaristi lebih inspiratif? Aku mau apa agar pelayanan terhadap masyarakat lebih optimal? Aku mau apa…
Categories: Sermon
2 replies ›