Ayo Petisi Tuhan

Teks doa Bapa Kami pada Injil Matius sedikit lebih panjang daripada teks Injil Lukas. Di sini, doa Bapa Kami semacam menjadi puncak dari Khotbah di Bukit, diletakkan di tengah-tengah wacana mengenai tindakan amal kasih, doa, dan puasa. Bisa dimaklumi, Injil Matius ini ditulis khususnya bagi pemeluk agama Yahudi yang sudah begitu akrab dengan aneka aturan maupun aneka doa. Tentu, ini juga berlaku bagi pemeluk agama lain yang juga akrab dengan aneka aturan dan rumusan doa mereka. Penulis Injil Matius menampilkan koreksi terhadap praktik keagamaan dengan tujuh petisi: tiga petisi menyangkut relasi kita dengan Tuhan (sapaan nama Allah, Kerajaan Allah, dan kehendak Allah), dan empat petisi berkenaan dengan relasi dengan sesama (rezeki, pengampunan, kemenangan, kebebasan).

Yesus mengkritik orang yang doanya merupakan pengulangan rumus magis yang ditujukan kepada Tuhan supaya Ia menanggapi secara positif tuntutan dan kebutuhan mereka. Dalam paradigma Yesus, kalau berdoa itu ya cari dulu Kerajaan Allah, jauh lebih penting daripada kepentingan pribadi. Doa yang berkenan kepada Tuhan tak bergantung pada pengulangan kata-kata seperti mantra. Kalau cuma pengulangan rumusan, doa jadi manipulatif, sebagaimana tukang sulap memanipulasi pandangan penonton. Tuhan yang diwartakan Yesus bukanlah tukang sulap. Ia adalah pribadi yang bisa dipanggil, disebut sebagai Bapa. Panggilan ini jadi sangat revolusioner dalam tradisi agama Yahudi karena dalam tradisi itu tak dimungkinkan menyebut Allah, yang begitu jauh dari keberadaan manusia. Menyebut Allah sebagai Bapa menjadi pangkal pengakuan bahwa semua makhluk berafiliasi pada-Nya.

Akan tetapi, mari kita amati, yang disodorkan Yesus pun tetaplah rumusan dan celakanya, orang bisa jatuh pada hal yang justru hendak dikritik atau dikoreksi Yesus. Lha piye jal, maksud Yesus mengajari muridnya supaya menghayati relasi personal dengan Allah (salah satunya dengan menyebut Bapa), tetapi akhirnya bisa terjadi pemerkosaan terhadap pengarang lagu Bapa Kami, misalnya. Konkretnya: yang sejak lama digunakan rumus ‘di bumi dan di surga’, lalu diubah menjadi ‘di bumi sperti di surga’. Apa soalnya? Rumusan! Atas nama ketepatan rumus, gubahan syair atau diutak-atik (alih-alih memberi alternatif lagu lain: meskipun itu juga bisa memunculkan kontroversi baru). Persoalannya bukan relasi personal umat dengan Allahnya, melainkan soal rumusan (seolah-olah dengan frase ‘di bumi dan di surga’ orang tidak bisa diberi pemahaman bahwa bumi dan surga itu berbeda). Ironis, bukan? Itulah formalisme yang makin jos kalau berkolaborasi dengan klerikalisme.

Petisi yang disodorkan Yesus itu pada gilirannya tidak lagi menjadi petisi terhadap Tuhan supaya Ia berbuat A B C D, melainkan petisi terhadap manusia sendiri supaya rumusan itu tidak berhenti sebagai rumusan, tetapi sungguh sebagai ungkapan gerak untuk terlibat dalam mewujudkan Kerajaan Allah.


KAMIS MASA BIASA XI B/1
18 Juni 2015

2Kor 11,1-11
Mat 6,7-15

Posting Tahun Lalu: Jakarta-Indonesia PP

1 reply