Ini ilmu gothak gathuk, tapi mungkin bolehlah dipakai di sini. Kemarin lusa saya tertarik pada status temin mengenai perceraian, eh lha kok ndelalahnya kemarin bacaan utamanya juga soal perceraian. Dalam jejaring sosial kemarin saya diskusi soal paham Allah dalam agama dan saya kesulitan menjelaskan bagaimana logika verbal manusia tak memadai untuk berbicara soal Tuhan, eh lha kok bacaan hari ini ya menyangkut soal ini ya. Memang persoalan yang dikisahkan dalam Injil beda dengan persoalan yang saya wacanakan, tetapi cara Yesus menanggapi persoalan itulah yang menyentak saya.
Seorang ahli Kitab Suci mencobai Yesus dengan pertanyaan mengenai cara memperoleh hidup kekal. Jawaban Yesus mirip dengan kebijaksanaan yang tertera dalam Taurat, dengan jawaban yang disodorkan oleh para rabbi lainnya. Tak ada perbedaan signifikan dalam rumusan, tetapi cara menjawab Yesus ini mengesankan. Ahli Kitab Suci itu mengakui kebenaran jawaban Yesus, tetapi rupanya mau membatasi tanggung jawabnya untuk mencinta dengan mencoba mempertanyakan definisi ‘sesama’. Beberapa orang berpikir bahwa tanggung jawab itu hanya masuk akal untuk orang benar (Misalnya dalam Kitab Sirakh 12,1-4: Jika engkau berbuat baik, hendaklah memperhatikan kepada siapakah kauperbuat, maka engkau mendapat balas budi karena perbuatanmu yang baik. Hendaklah berbuat baik kepada orang bertakwa, niscaya engkau mendapat balasan, kalaupun tidak dari pada dia sendiri, pasti dari Yang Mahatinggi. Tidak ada sesuatupun yang baik bagi orang yang tekun dalam kejahatan, ataupun bagi yang tidak bersedekah. Berikanlah kepada orang bertakwa, tapi jangan menolong orang berdosa).
Akan tetapi, wacana yang disodorkan ahli Taurat itu memang tetap tinggal dalam wacana filosofis atau refleksi teologis yang bisa diperdebatkan terus menerus. Yesus tidak masuk ke sana, Saudara-saudara! Ia seolah berkata: gak banyak gunanya mempersoalkan siapa itu ‘sesama’ (yang menjadi objek pikiran), yang penting ialah membuka hati supaya welcome terhadap semua dengan cara menjadi ‘sesama’ (si ‘aku’ yang merupakan subjek pelaku). Jadi, kalau mau utak atik otak lagi, persoalannya bukan lagi siapa itu ‘sesama’, melainkan bagaimana aku menjadi ‘sesama’.
Dari perumpamaan yang disampaikan Yesus, memang bisa dibayangkan bagaimana sosok imam, pemuka agama itu sibuk dengan aneka wacana dan mengobjekkan korban perampokan. Mereka bisa jadi punya rasa kasihan, tetapi ya berhenti pada rasa itu karena aneka macam rasionalisasi. Baru kemudian orang Samaria (yang dikafirkan orang Yahudi) datang dan membantu korban perampokan itu. Barangkali ia juga berpikir siapa korbannya, dari mana, orang macam apa, dan sebagainya. Tetapi, itu tidak menghalanginya untuk merealisasikan belas kasihannya ke dalam tindakan. Ia tidak sibuk memikirkan siapa ‘sesama’-nya tetapi mewujudkan konsep ‘sesama’ itu dalam dirinya bagi si korban.
Tuhan, semoga rahmat-Mu menguatkan aku untuk menjadi sesama. Amin.
HARI SENIN BIASA XXVII B/1
5 Oktober 2015
Posting Tahun Lalu: Orang Samarinda yang Baik Hati
Categories: Daily Reflection