Tertipu Agama

Orang beriman semestinya tak tertipu oleh kecenderungan pembakuan atau formalisme dalam agama. Kecenderungan pembakuan itu sendiri bisa dimengerti karena orang beragamanya gagal paham. Mari kita lihat pelan-pelan apa yang disodorkan teks-teks Injil beberapa hari ini. Hari Minggu kemarin, Yesus disodori pertanyaan apakah seorang suami boleh menceraikan istrinya. Jawaban Yesus negatif, tetapi apa yang dipahami orang yang menanyainya? Lha Musa aja mengeluarkan surat cerai kok, ya berarti boleh cerai dong! Itu mirip-mirip dengan menyimpulkan bahwa negara boleh berperang karena sudah tersedia palang merah internasional yang siap membantu para korban. Orang gagal paham.

Kemarin Yesus disodori pertanyaan mengenai cara mencapai hidup kekal, dan jawaban Yesus mirip dengan yang dikatakan guru-guru kebijaksanaan lainnya. Akan tetapi, si penanya hendak membenarkan sikap selektifnya dengan berargumentasi soal ‘sesama’. Sayang, cara berpikir si penanya itu menempatkan ‘sesama’ sebagai objek pikiran belaka yang tak berurusan dengan subjek penanya. Yesus menawarkan cara pikir yang lebih seimbang: ‘sesama’ itu bukan cuma soal definisi objektif yang begitu selektif, melainkan juga soal bentuk keterlibatan si subjek. Dalam perumpamaan yang dipakai untuk menjawab pertanyaan ahli Taurat itu diinsinuasikan bahwa yang menjadi sesama adalah orang Samaria yang berbela rasa terhadap korban perampokan.

Nah, di sini titik krusialnya. Gambaran ‘sesama’ yang diidentikkan dengan orang Samaria itu bisa ditangkap keliru juga. Misalnya, orang berkesimpulan bahwa ‘menjadi sesama‘ berarti terlibat aktif dalam tindakan membantu orang yang berkesusahan, yang membutuhkan pertolongan, dan sejenisnya. Apakah kesimpulan ini salah? Ya tidak 100% salah, sekurang-kurangnya karena keterlibatan aktif dalam tindakan itu adalah bagian dari ‘menjadi sesama’. Hanya saja kesimpulan itu memang tidak lurus, karena poin yang dimaksud Yesus adalah soal membebaskan diri dari cara pikir yang selektif, cara pandang yang bukan hanya membedakan melainkan juga mendiskriminasi entah karena isu agama, ras, suku, atau like dislike. Nah, cara penyimpulan yang tak lurus ini juga berakibat upaya pembakuan kebenaran jadi sia-sia. Maksudnya?

Teks Injil hari ini mengisahkan kunjungan Yesus ke rumah sohib dekatnya, Marta dan Maria. Menurut gambaran tentang ‘sesama’ yang didapat dari kesimpulan yang tidak lurus tadi, kiranya jelas bahwa tindakan Marta bisa lebih dipertanggungjawabkan dan dibenarkan karena dialah yang begitu aktif bekerja menyiapkan jamuan untuk Yesus dan murid-muridnya. Ia terlibat aktif dalam tindakan membantu orang yang membutuhkan jamuan setelah bekerja sekian waktu. Marta pun berpikir demikian, maka ia meminta Yesus supaya Maria terlibat aktif untuk mengerjakan tetek bengek itu. Modernitas bisa masuk di sini: membangun tatanan masyarakat, infrastruktur, teknologi canggih perkotaan, dan sebagainya.

Akan tetapi, Yesus menyodorkan hal lain yang tak tertangkap Marta: keterlibatan aktif yang benar adalah keterlibatan yang muncul dari tindak mendengarkan Sabda Allah. Nah, ini pun bisa kemudian ditangkap keliru: berarti orang mesti seperti Maria, duduk tenang mendengarkan. Orang bisa begitu asik berlama-lama dengan ibadat, kesibukan di seputar altar, kecemasan mengenai kesalehan pribadi, dan sebagainya.

Dengan demikian, Yesus terus menerus mengundang orang untuk tak pernah berdiam diri dengan aneka hal (termasuk yang baik) yang dibakukan. Pengikut Kristus mesti dengan tekun menguji ulang pemahamannya supaya tak beku dalam satu ekstrem Marta dan Maria. Jika tak hati-hati dalam beriman, orang tertipu oleh rumusan dan pembakuan dalam agama. Akibatnya, iman bukan lagi personal sifatnya, melainkan impersonal: cuma menjalankan rumusan perintah, hanya menuruti rubrik, formalitas, tanpa relasi pribadi dengan yang diimaninya.

Ya Tuhan, buatlah hati ini senantiasa terbuka pada Sabda-Mu dalam doa dan karyaku. Amin.


HARI SELASA BIASA XXVII B/1
6 Oktober 2015

Yun 3,1-10
Luk 10,38-42

Posting Tahun Lalu: Cinta Mengurai Benang Kusut

2 replies

  1. Konsep sesama yang disodorkan dalam perikop Orang Samaria yang Baik Hati juga pernah membuat saya bingung. Tapi sekarang saya sudah dicerahkan oleh Romo.

    Like