Mosok Sabar Melulu

Kadang seseorang mengeluarkan potensi terbaiknya justru dalam situasi terjepit, tersiksa, terpaksa, atau menderita. Yang tadinya lemah tak berdaya di atas kursi roda, tahu-tahu bisa berjalan karena ketakutan luar biasa terhadap bahaya yang mengancamnya. Yang tadinya bungkam seribu bahasa, tahu-tahu membuka mulut karena tak tahan dengan siksaan yang dideritanya. Intelijen atau militer, bisa jadi, menggunakan cara-cara kekerasan untuk mengorek kebenaran yang dibutuhkannya.

Wacana apokaliptik hari ini menambahkan satu sinyal selain dari yang sudah disebutkan kemarin (mesias palsu, revolusi, perang antarbangsa, gempa di mana-mana, kelaparan, wabah, tanda heboh di langit): penganiayaan orang-orang Kristen. Yesus tahu persis konsekuensi yang ditanggung pengikutnya: mereka akan mengalami penganiayaan. Tak usah heran, tak usah terkejut bahwa orang menderita karena kebenaran. Itu lumrah. Kebenaran memang menyakitkan, tapi takkan membunuh. Sakitnya itu seperti sakit ibu melahirkan: memberi kehidupan baru.

Maka dari itu, menurut Yesus, penderitaan adalah suatu kesempatan, suatu medan, suatu batu uji bagi orang beriman untuk memberi kesaksian akan kuasa Allah. Ini tak bisa dipahami dengan imajinasi infantil bahwa pada saat kita menderita lantas nanti akan muncul sinar ajaib Allah yang akan menghabisi pihak-pihak yang menganiaya kita. Tentu Allah bisa melakukan hal itu sebagaimana Dia membutakan Saulus (Kis 9,1-20), tetapi apa gunanya menunggu momen istimewa seperti itu saat kita menderita?! Pun jika orang sabar disayang Tuhan dan mungkin ada baiknya bersabar menunggu mukjizat ilahi itu, yang disodorkan Yesus di sini lebih dari sekadar kesabaran pasif.

Ketekunan (dalam penderitaan) adalah suatu seni yang memberi dinamika pada kesabaran. Orang tidak hanya bersabar mengelus dada sembari bersungut-sungut menyumpahi apa saja yang membuatnya hidup susah, mencemberuti hasil yang tak cocok dengan isi kepalanya. Perseverance tidak berfokus pada hasil, tetapi pada nilai tindakannya sendiri. Orang yang punya perseverance tidak tinggal diam terhadap kebenaran yang mesti ia suarakan maupun lakukan, entah bagaimanapun hasilnya. Daniel dalam bacaan pertama tetap menyampaikan pesan kebenaran meskipun ia tak punya keinginan atas hadiah yang disodorkan Raja Belsyazar. Ia menafsirkan tanda heboh pada dinding istana raja sebagai isyarat berakhirnya kekuasaan Belsyazar. Memang betul. Belsyazar terbunuh dan Daniel malah diberi posisi penting dalam kerajaan, tapi pasti bukan posisi penting itu yang diinginkannya.

Semoga para guru, terutama di tempat terpencil, tidak hanya dikaruniai kesabaran, tetapi juga ketekunan untuk membidani kebesaran Allah dalam diri anak-anak didik. Amin.


HARI RABU BIASA XXXIV B/1
25 November 2015

Dan 5,1-6.13-14.16-17.23-28
Luk 21,12-19

Posting Tahun Lalu: Sabar, Brow!

2 replies

  1. Suffering, though not always easy to cope with, may be an opportunity and be a touchstone for the faithful to bear witness to the power of God. In most cases is we look at it it is also a lesson or a learning-process in our life, making us stronger, instead of weaker, when we want to learn from it. therefore we must have our mind set on the willingness to learn from it.

    As you point out we can succeed when we do not so much focus on results,but on the value of our own actions. We wold like to ad also when a person focuses on the willingness to help others with their suffering to get them forwards and to come to know the one who can provide salvation from pain,hunger, suffering and any trouble.

    Like