Kebal Kritik, Bebal mBribik

Menerima kritik tak selalu mudah. Orang cenderung defensif, apalagi yang merasa diri punya kebenaran tingkat dewa. Jika sedikit bijak, orang tak perlu defensif justru karena paham bahwa setiap orang punya keterbatasan. Orang yang menyampaikan kritik pun tak luput dari keterbatasan (entah substansi ataupun metodenya). Maka, bisa jadi kritiknya kurang tepat sasaran. Orang yang dikritiklah yang semestinya menepatkan sasaran itu, bukan balik menyalahkan orang yang mengkritik.

Yohanes Pembaptis yang hidup asketis di padang gurun melihat sepak terjang orang-orang terpandang dalam hidup keagamaan, menyampaikan kritik kepada mereka. Apa reaksi mereka? Balik menuduh Yohanes sebagai orang yang kerasukan setan. Yesus yang ikut makan bersama orang-orang yang dianggap pendosa melihat juga perilaku alim ulama dan menyampaikan kritik kepada mereka. Apa reaksi mereka? Balik mencaci Yesus sebagai orang yang kurang satu ons, sinting (Mrk 3,21-22), menegaskan bahwa dia bukan dari Allah karena tak mematuhi hukum agama (Yoh 9,16), bahkan kafir dan kerasukan setan (Yoh 8,48). Trus, mau elo gimana sih, Brow?

Pertanyaan itu gak relevan disodorkan pada orang Farisi, ahli Taurat, atau imam kepala pada zaman Yesus. Mereka sudah mati. Akan tetapi, roh yang menjiwai mereka itu tidak ikut mati loh; masih menggoda sampai sekarang. Ada orang yang begitu keukeuh dengan ajaran yang diterimanya dan tak pernah menerima cara penjelasan dan penghayatan iman yang berbeda darinya. Lalu, mereka carilah alasan atau dalih untuk menghujat penghayatan yang berbeda tadi dengan aneka macam atribut: pemimpin kafirlah, PKI-lah, menyembah berhalalah, subversiflah. Serunya lagi kalau si pemberi kritik memelihara roh yang sama, lalu balik mengecam: konservatiflah, fundamentalislah, fanatiklah, diktatorlah.

Yesus gak seru: dia cuma menyodorkan kebenaran, tak bermaksud membribik semua orang supaya membenci pemuka agama. Ia tak berminat untuk berperang, maka ketika lawan-lawannya berkonspirasi untuk menghancurkannya, ia tetap fokus menyuarakan kebenaran dan definitiflah kebenarannya ketika ia mati disalib. Integritasnya dibunuh oleh pribadi-pribadi yang tidak punya koherensi antara cita-cita suci dan tindakan. Orang-orang tanpa koherensi iman-tindakan (yang diimani gak sesuai dengan yang dilakukan) ini tak ubahnya seperti anak-anak yang berebut mainan, tak pernah puas, tak pernah sungguh happy: yang satu maunya begini, yang lain inginnya begitu, saling mbribik bahkan secara paksa supaya orang lain menuruti apa yang diinginkannya.

Yesus mengingatkan, bukan mbribik, lawan-lawannya yang merasa diri bijak, tapi senyatanya seperti anak-anak yang inginnya bersuka-suka di tempat publik dan rewel bahkan mencak-mencak jika orang lain berjoget atau menyanyi tak sesuai dengan keinginan mereka. Yesus mengingatkan orang yang merasa diri bijaksana tetapi nyatanya tak punya kebijaksanaan wong cuma menerima mereka yang setuju atau berpikiran sama dengannya. Orang membuat paten yang membunuh kreativitas iman: tari suka cita untuk pesta manten dan tangis duka cita untuk kematian, gak ada tawar menawar, tanpa alternatif!

Ya Tuhan, buatlah hatiku terbuka pada kemurahan hati-Mu dan sedia untuk bertobat. Amin.


HARI JUMAT ADVEN II
11 Desember 2015

Yes 48,17-19
Mat 11,16-19

Posting Tahun Lalu: Pernah Patah Hati Gak Sih?