Kalau jatuh cinta itu berjuta rasanya, patah hati pun pasti berjuta rasanya. Hanya saja, jatuh cinta kelihatannya lebih mengasyikkan daripada patah hati. Kenapa? Karena patah memaksa orang untuk berhadapan dengan kenyataan yang sebenarnya! Ihik ihik ihik……
Memang orang yang jatuh cinta juga berhadapan dengan kenyataan sih, tetapi kenyataan itu sudah difilter oleh angan-angan atau harapan tertentu yang dia miliki: pohon jadi orang, kelas jadi gedung bioskop, gedung bioskop jadi tempat tidur, dan sebagainya (cie cie cie, rasanya gimanaaa gitu).
Relasi orang yang jatuh cinta dibangun di atas pondasi harapan, komitmen, atau pengandaian yang rapuh mengenai orang yang dijatuhi cintanya. Begitu pondasi ini patah, jadilah kenyataan tanpa filter: pohon tetap pohon, kelas tetap kelas, bioskop tetap bioskop, tapi rasanya jadi paiiiiiiiit skale’.
Akan tetapi, orang yang jatuh sampai patah ini, betapapun sakit, justru punya modal yang baik untuk benar-benar hidup. Orang maunya jatuh cinta gak pake’ patah hati sampai akhirnya married sepanjang hayat. Hmmm… kalau emang bisa begitu, syukurlah; tetapi lebih banyak orang yang hidupnya tak semulus itu. Sekurang-kurangnya, meskipun tak sampai patah hati, dalam perjalanan perkawinan orang bisa mengalami keretakan. Keretakan ini pun bisa jadi modal untuk belajar sesuatu yang lain, untuk benar-benar keluar dari diri sendiri.
Bacaan hari ini menyinggung orang yang sibuk melulu dengan dirinya sendiri, tidak mau keluar dari dirinya sendiri: Kami meniup seruling bagimu, tetapi kamu tidak menari, kami menyanyikan kidung duka, tetapi kamu tidak berkabung. Orang ini sudah puas dengan dirinya sendiri, merasa benar sendiri, tak merasa butuh koreksi, tak melihat pentingnya transformasi diri, on going conversion.
Jika diumpamakan sebagai composer, orang ini membuat seribu satu lagu dengan not yang itu itu aja. Dalihnya, seperti dikisahkan de Mello, pengarang lagu lain masih terus mencari not terbaik, ia sudah menemukan not terbaik itu. Halah…. membosankan! Not terbaik itu adalah perintah Allah sendiri, yang terangkum dalam kasih kepada Tuhan dan sesama. Repotnya, kasih kepada Tuhan dan sesama itu adalah panggilan dari momen ke momen yang bisa berubah-ubah variabelnya. Konsekuensinya, orang yang penuh cinta pun niscaya perlu bertobat, mentransformasi diri terus menerus untuk mencinta.
JUMAT ADVEN II
12 Desember 2014
Categories: Daily Reflection
I am addicted to love. Ada filemnya juga nih… http://www.imdb.com/title/tt0118556/ kalau mau aku pinjemin CD-nya lho…
LikeLike
Kayaknya kecanduan yang satu ini asik juga ya sampe dibikin film n CD-nya dipinjem2in haha…
LikeLike
Mohon ijin share ya romo 🙂
LikeLike
Monggo silakan, maturnuwun sudi mampir.
LikeLike