Beberapa orang miskin duitnya buanyuaaaaak sekali. Loh piye sih? Duit banyak kok miskin? Ya iya donk karena cuma itu yang mereka punya! Tapi kan dengan duit mereka bisa beli banyak barang yang dibutuhkan? Betul, bisa beli barang-barang konkret, yang bisa ancur seketika entah karena kejahatan atau bencana alam, misalnya. Barang-barang abstrak yang mereka miliki pun pasti bersyarat duit: punya suara rakyat karena tersedia duit 500 milyar, punya harga diri karena mampu beli sepatu dan tas seharga €uro 8000, punya kepercayaan diri karena bisa beli tiket pesawat bisnis, dan sebagainya. Mereka tak punya barang abstrak yang tak terbeli dengan duit: persahabatan, kedamaian, kebahagiaan, doa, cinta, harapan, iman, dan sejenisnya.
Romo ada masalah dengan mereka yang punya banyak duit ya? Sama sekali tidak! Saya cuma bilang mereka itu miskin jika yang dimiliki cuma duit dan turunannya. Sebanyak apapun duit yang mereka punya, kalau cuma itu yang dimiliki ya tetaplah miskin, dan kemiskinan bukanlah hal yang diwartakan Yesus. Pada masa penjajahan Romawi, Yesus mengerti betul bahwa dominasi kekuasaan Romawi mengacaukan hidup bangsa Israel. Mereka kehilangan suatu esprit de corps dengan akibat masing-masing keluarga memperjuangkan survival dengan standar ukuran sendiri-sendiri. Tidak hanya itu, bahkan dalam keluarga pun bisa jadi ortu tak terpaut dengan anak dan sebaliknya.
Dalam situasi itu memang orang Israel menantikan kedatangan Elia kembali untuk menata komunitas hidup mereka: mengembalikan hati ortu kepada anak-anak mereka dan mengusahakan anak-anak menaruh hati pada orang tua mereka. Ini harapan besar orang saat itu.
Teks Injil hari ini merupakan bagian kisah transfigurasi yang mempertemukan Musa, Elia, dan Yesus. Umumnya orang Israel saat itu percaya bahwa Elia akan datang kembali menyiapkan datangnya Kerajaan Allah. Nah, murid-muridnya yang sudah mulai mengerti identitas Yesus bertanya-tanya: apa kata alim ulama itu, bagaimana mereka percaya Yesus adalah Mesias yang dinantikan wong Elia belum datang? Jawab Yesus simpel: Elia sudah datang, tapi mereka tak menyadarinya dan memperlakukannya seenak wudel mereka. Yang dimaksud Yesus jelaslah Yohanes Pembaptis.
Orang sekarang sebetulnya ya dalam situasi mirip seperti itu dan cara menanggapinya juga kurang lebih begitu. Ribut cari tanda kiamat, sibuk konsolidasi kelompok, grusa-grusu dengan bisnis yang terus berlari, dan tak sadar bahwa itu semua mempromosikan standar yang malah merusak kehidupan sendiri. Konsumerisme neo-liberal merongrong nilai kehidupan dalam keluarga karena orientasinya bukan lagi nilai, melainkan achievement yang didominasi oleh penumpukan modal. Orang sibuk dengan metode dan lupa isinya. Orang sibuk dengan teknik dan lupa substansinya. Nasib orang yang menyodorkan substansi pun mirip dengan nasib Yohanes Pembaptis: dibunuh. Yohanes punya rancangan substansial yang baik untuk reformasi masyarakat (bdk. Luk 3,7-14) dan karena itu ia dibungkam dan dihabisi. Yesus tak beda. Ia melanjutkan misi Yohanes untuk membangun kembali hidup komunitas. Dia gak cuma dibully, tetapi juga disalib.
Kerap terjadi orang menantikan sesuatu dan tak sadar bahwa sesuatu itu sudah ada bahkan dalam dirinya. Orang merindukan Allah tetapi memperlakukan Allah sebagai objek pikiran sementara Allahnya sendiri sudah hadir entah lewat alam, Kitab Suci, ritual, orang, dan sebagainya. Hal yang sama bisa menimpa para wife yang jebulnya tidak lebih berharga dari wifi.
Ya Tuhan, buatlah hatiku terbuka pada kemurahan hati-Mu dan sedia untuk bertobat. Amin.
HARI SABTU ADVEN II
12 Desember 2015
Posting Tahun Lalu: Masih Mau Menyombongkan Diri?
Categories: Daily Reflection