Kebanyakan bayi mampu menampilkan menu kontras sebelum mereka mengenal kamera digital. Mereka bisa tiba-tiba menangis tak lama setelah tertawa terpingkal-pingkal. Memang, sebagian lagi ada yang sedemikian sopan atau elegan menampilkan kontras itu sampai-sampai orang dewasa tertipu mengira bayi menangis padahal tertawa, dan sebaliknya. Liturgi Gereja Katolik hari ini menampilkan suasana kontras terhadap hari kemarin dengan kisah pembunuhan. Kemarin kelahiran Yesus dirayakan, hari ini disodorkan kisah kematian Stefanus. Ini seperti mau mengatakan dua sisi dari satu keping kehidupan, tetapi tentu saja iman lebih dari sekadar kata-kata mutiara atau falsafah keseimbangan antara yang baik dan yang buruk, misalnya.
Orang tak perlu berguru pada orang bijak untuk tahu bahwa di dunia ini ada yang baik dan yang jahat. Orang juga tak perlu risau dengan tes-tes kepribadian yang membuat parafrase atas pilihan-pilihan tindakan dan hidupnya. Harus diakui bahwa orang lain mungkin lebih terampil memberi label terhadap momen, peristiwa, atau status hidup kita, tetapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana kita sendiri membangun hidup melalui aneka keputusan yang kita pilih. Dengan kata lain, kalau memang hidup ini bagaikan sekeping uang dengan dua sisi, utamanya bukan lagi soal bahwa segala sesuatu itu punya sisi baik buruk atau terang gelapnya, melainkan bagaimana dari sisi yang satu orang dapat bergerak ke sisi yang lain.
Loh, Romo ini bagaimana, mosok kalau orang sudah di sisi terang njuk mesti bergerak ke sisi gelap?! Olala, Anda lupa dalil yang Anda pegang sendiri bahwa segala sesuatu itu punya sisi baik buruk atau terang gelapnya! Itu artinya, bahkan meskipun Anda (mengklaim diri) berada pada sisi terang, Anda tetap punya potensi gelap. Konkretnya? Anda merasa diri bersih, merasa diri terang, dan itu mengindikasikan suatu kesombongan rohani yang pada dirinya adalah sisi gelap! Orang merasa agamanya benar (sisi terang), lantas menyimpulkan agama lain salah (sisi gelap)! Kesimpulannya ini menodai sisi terang yang diklaimnya, sebagaimana orang mengklaim diri rendah hati!
Orang beriman tidak punya standpoint seperti itu. Orang beriman dari waktu ke waktu terus bergerak menuju sisi terang hidup. Orang tak beriman, sebaliknya, terus bergerak menuju sisi gelap kehidupan. Loh, kok Romo enak banget membuat distingsi orang beriman menuju terang dan orang tak beriman menuju kegelapan? Lha kan tadi pengandaiannya hidup ini bagai sekeping uang dengan dua sisi?! Oh, iya lupa.
Teks Matius untuk pesta Stefanus, martir pertama, mengindikasikan bagaimana kemartiran memungkinkan orang bergerak dari sisi gelap ke sisi terang: kamu akan digiring ke muka penguasa-penguasa dan raja-raja sebagai suatu kesaksian bagi mereka dan bagi orang-orang yang tidak mengenal Allah (Mat 10,18 ITB). Martir berarti saksi dan kemartiran bagi orang beriman adalah kesaksian akan cinta Allah yang mengatasi aneka kegelapan. Bagi orang beriman, yang penting dalam kegelapan bukanlah sisi pahit penderitaan, melainkan sisi kesaksiannya. Sisi gelap, penderitaan, penganiayaan menyodorkan kesempatan untuk mempersaksikan, menjadi saksi kabar baik dari Allah bagi semua orang. Itu mirip dengan kesempatan dalam kesempitan yang dipakai bukan untuk kepentingan diri, melainkan kepentingan kemanusiaan.
Ya Allah, semoga aku dapat melihat kesempatan untuk mewartakan Sabda-Mu dalam kesusahan hidupku. Amin.
HARI KEDUA OKTAF NATAL
Pesta Santo Stefanus, Martir Pertama
Sabtu, 26 Desember 2015
Kis 6,8-10; 7,54-59
Mat 10,17-22
Posting Tahun Lalu: Orang Baik Mati, Kebaikan Tidak
Categories: Daily Reflection