Ada loh orang yang married hanya supaya kelak ada yang merawatnya kalau usianya uzur mendekati liang lahat. Sebagian dari orang ini bahkan menentukan anaknya harus jadi apa: dokter, pengusaha, pedagang, dan sebagainya. Loh, kenapa memangnya kalau begitu? Ada masalah? Ya enggak sih; orang membunuh saja bisa melontarkan pertanyaan,”Ada problem dengan pembunuhan yang saya lakukan?” Orang bisa saja membunuh karakter seseorang dengan teror, bullying, tirani, sikap otoriter, dan sebangsanya, dan merasa itu baik-baik saja.
Sebagian orang konsisten menghayati keyakinan bahwa anak adalah titipan Tuhan yang dipercayakan kepada orang tua. Maria dan Yusuf adalah salah satunya. Mereka taat pada hukum yang turun temurun dihidupi oleh bangsa Yahudi sehingga setelah bayi Yesus berusia 40 hari, mereka mempersembahkannya kepada Allah di kenisah-Nya. Apa maksudnya mempersembahkan anak sulung ke Bait Allah? Jadi sesaji untuk nyumpeli gunung supaya tidak njeblug, pasti tidak. Mempersembahkan kepada Allah berarti mempersiapkan anak itu untuk memenuhi panggilan Allah sendiri. Masuk seminari untuk jadi pastor? Ya tentu tidak cuma itu, mungkin saja masuk sekolah kejuruan lain, atau masuk akademi kepolisian, dan sebagainya.
Poinnya ialah bahwa orang tua membantu anaknya untuk menemukan panggilan Allah dan itu tak mungkin terjadi dengan sikap posesif orang tua: dah kerja keras membanting tulang (profesi baru?) untuk anak kok, sudah sewajarnya anak menuruti keinginan ortu. Loh kan Tuhan juga bisa bicara melalui keinginan ortu, bukan? Iya, cuma kalau bicaranya melalui keinginan narcisistik ortu, hidup ini, kalau diibaratkan seperti komputer, ya jadi hang. Lha dulu saya juga cuma mewarisi keberhasilan ortu untuk menjalankan bisnis raksasanya kok. Haiya, apakah Anda sungguh happy dengan itu? Oh iya, saya sungguh happy. Ya, kalau memang sungguh happy, fine!
Pada kenyataannya, tak sedikit orang yang tidak sungguh-sungguh happy karena tak punya pengalaman untuk menjadi dirinya sendiri. Keputusan, lengkap dengan jaminan hidupnya, sudah disediakan oleh ortunya; yang sayangnya, narsis. Maria dan Yusuf, yang berasal dari keluarga sederhana, membiarkan, mengupayakan supaya anak tunggalnya bisa menemukan panggilan Allah sejak masa bayinya. Maria dan Yusuf mendidik anak tunggal mereka sehingga penuh hikmat. Tentu saja ini tak berarti bahwa mereka berpedoman “terserah anak saya mau apa”! Mereka benar-benar membantu si anak supaya menemukan passion, menemukan gairah hidup yang kelak jadi medium bagi Allah untuk menampakkan cinta-Nya kepada manusia.
Untuk membantu menemukan passion itu, memang ortu membutuhkan mata hati yang dimiliki sosok Simeon: orang yang “benar dan saleh”, yaitu orang yang dinaungi Roh Kudus. Orang macam ini tak mungkin memelihara sifat posesif yang menempatkan orang lain sebagai objek atau target kepentingan-kepentingan narcisistik. Ia senantiasa ingat bahwa anak, sebagaimana dikatakan Kahlil Gibran, itu seumpama panah yang baru menjalankan fungsi jika diluncurkan dari busurnya. Ini bukan soal bahwa anak jadi manten lalu pergi meninggalkan orang tuanya. Ini soal bahwa anak memenuhi panggilan Allah dalam hidupnya, dan bukannya terpaksa memenuhi kepentingan egoistik ortunya.
Ya Allah, semoga Kaulapangkan hatiku untuk mengerti panggilan-Mu bagiku, bagi orang-orang terdekatku. Amin.
PESTA YESUS DIPERSEMBAHKAN DI BAIT ALLAH
Selasa Biasa IV C/2
2 Februari 2016
Categories: Daily Reflection