Apa Guna Posesif?

Belas kasih, kemurahhatian, kerahiman Allah itu memang menjengkelkan. Gak heran bahwa seorang nabi pun merasa lebih baik mati daripada hidup (Yun 4,1-3). Ia benar-benar marah. Alasannya adalah belas kasih Allah yang dikisahkan dalam bacaan pertama hari ini. Tadinya Yunus disuruh pergi ke Niniwe untuk mempertobatkan bangsa kafir itu, tapi Yunus malah pergi ke Tarsis. Setelah kena bencana di laut dan ditelan ikan, barulah ia dengan berat hati ke Niniwe seperti diperintahkan Allah.

Bangsa Niniwe itu sekafir-kafirnya bangsa kafir. Terhadap bangsa seperti itu, tentu saja orang Israel sejengkel-jengkelnya orang jengkel. Payahnya, setelah Yunus menyampaikan pesan pertobatan itu, bangsa Niniwe ternyata benar-benar bertobat. Padahal, sebetulnya tak lama lagi bangsa itu akan dihancurkan. Kok ya pake acara batal segala! Allah menyesal dan membatalkan malapetaka yang hendak dijatuhkan-Nya! Aseeeemmm! Kenapa gak diancurin aja sekalian?!

Karena itulah Yunus marah dan ia benar-benar berpikir bahwa lebih baik ia mati saja daripada hidup tiada guna. Ya, tiada guna, wong ternyata orang-orang bejat pun diberi kesempatan tobat dan kalau tobat memang akhirnya dapat pengampunan Allah. Lalu kenapa ia mesti setia pula pada hukum Tuhan? Kenapa mesti capek-capek jadi orang baik di hadapan Tuhan dan ditertawakan orang-orang bejat? (Ngapain juga lu bermanis-manis sekarang, ntar aja kalo dah mau mati!) Yunus marah dan mau mati saja rasanya.

Kisah Yunus bukanlah kisah historis. Ia adalah personifikasi mentalitas mereka yang maunya Allah itu hanya untuk orang Yahudi. Yunus tahu bahwa Allah itu berbelas kasih dan orang yang bertobat pastilah mendapat pengampunan-Nya. Maka dari itu, Yunus tak menginginkan pertobatan orang Niniwe. Biarlah mereka tetap tidak mengenal Allah dan biarlah Allah itu menjadi Allah orang Israel semata.

Yesus menyebut generasinya sebagai angkatan yang jahat dan kepada mereka hanya diberikan tanda Yunus yang diberikan kepada mereka. Mereka pun inginnya Allah hanya untuk bangsa Israel. Entah bagaimana alurnya, mentalitas macam itu juga berlanjut dalam kehidupan orang beragama. Sebagian orang Katolik/Kristen misalnya, punya keyakinan untuk memonopoli Tuhan dan beranggapan bahwa orang yang mau selamat di akhirat nanti mesti jadi Katolik/Kristen.

Mentalitas itu menghidupkan proselitisme dan jadi sumber keresahan di sana sini, sesuatu yang tampaknya justru tidak dikehendaki Yesus sendiri. Yesus tidak meminta supaya semua orang jadi Kristen, tetapi supaya semua menjadi murid (bdk. Mat 28,19), menjadi pribadi seperti dia, yang memancarkan kabar belas kasih Allah bagi segala bangsa (bdk. Mrk 16,15). Jatuh cinta, juga kepada Allah, bisa jadi modul yang baik, tetapi kalau tak pernah bangkit dari kejatuhan itu, yang berkembang hanyalah sikap posesif, juga kepada Allah. Celakanya, kalau sikap posesif yang dikembangkan, pribadi lain hanya akan jadi objek, juga pribadi Allah bakal jadi objek.

Ya Tuhan, bantulah kami untuk mengurai sikap posesif kami dan membiarkan belas kasih-Mu menyentuh semakin banyak orang. Amin.


HARI RABU PRAPASKA I
17 Februari 2016

Yun 3,1-10
Luk 11,29-32

Posting 2015: Belajar Tobat dari Orang Lain
Posting 2014: Repentance: Fusion of Horizons