Vending Machine God

Kalau Tuhan ada di mana-mana, Dia pasti juga ada di dalam vending machine! Andaikan saja Allah itu seperti vending machine….

Pada hari Selasa kemarin disinggung sebuah doa yang dua kata pertamanya saja sudah memuat dua asumsi yang revolusioner (kalau lupa dan mau baca lagi posting sumur resapan doa, klik di sini): (1) Allah yang Mahabesar itu sekaligus dekat berelasi dengan dunia, dan (2) Allah yang Mahabesar itu tak bisa dimonopoli oleh seorang atau sekelompok orang. Itulah doa Bapa Kami. Dalam kata Bapa Kami itu sudah terangkum pokok pengertian Allah yang disembah umat beriman: Dia bukan sosok monster yang terus menerus mengawasi gerak-gerik kita, melainkan laksana seorang bapak yang menaruh trust kepada anak-anaknya.

Kepada sosok bapak yang menaruh trust, seorang anak terbebaskan dari rasa takut, ia bebas mengungkapkan dirinya, termasuk untuk menyampaikan permintaan. Ia akan menyampaikan permintaan dengan keyakinan bahwa sang ayah akan memberikan sesuatu yang baik kepadanya. Dari pihak ayah, karena cintanya yang besar kepada anaknya, ia juga tak mungkin tuli terhadap permintaan anaknya.

Karena relasi bapak-anak seperti itu, tak mungkinlah doa orang beriman diibaratkan sebagai doa di hadapan vending machine! Tak tepatlah doa dianalogikan sebagai tombol yang mengeluarkan menu yang kita pilih: tombol satu untuk layanan bahasa Indonesia, tombol satu lagi untuk informasi layanan dan produk, dan tombol dua untuk pengaduan dan bantuan. Allah bukan objek teknologi yang bisa ditundukkan dengan sains.  

Tapi ada loh, Romo, yang doa minta anak dengan rumusan doa dan air Ignatius dan akhirnya setelah 15 tahun perkawinan bisa hamil juga dan punya anak! Haiya justru itu! Itulah terjemahan dari anjuran Yesus hari ini: mintalah, carilah, dan ketuklah! Orang meminta, mencari, mengetuk kemurahan hati Allah selama 15 tahun dengan aneka cara dan ndelalahnya doa air Ignatiuslah yang jadi doa terakhir sebelum si perempuan hamil. Andaikan sejak awal ia memakai rumusan doa air Ignatius itu dan sejak malam pertama cuma kedip-kedipan dan pelotot-pelototan dengan suaminya, mungkin yang muncul malah anak tetangga!

Maksud saya, aneka rumusan doa pun bahkan tak bisa dihayati sebagai bentuk ekstrem dari meminta, yaitu memaksa. Di hadapan vending machine orang berhak menuntut, memaksa objek keluar seturut kode atau tombol yang ditekannya. Kalaupun Anda tetap memaksa paham Allah sebagai vending machine, Anda akan tahu bahwa kesabaran, kerendahan hati, doa, pengampunan, tobat, bukan barang yang mak cling keluar dari mesin itu. Kita sendiri mesti berbuat sesuatu untuk pertobatan, pengampunan, doa, kesabaran, dan sebagainya. Selain itu, mungkin hidup kita jadi lebih ringan jika kita, kalau memaksakan paham vending machine God tadi, memakluminya bahwa Dia adalah broken vending machine God. Tapi, rasa saya, lebih ringan lagi kalau kita menghayati hidup sebagai dialog, tegangan pribadi dengan Allah sebagai pribadi, bukan sebagai konsep, sebagai ideologi, apapun basis keyakinan atau agama kita.

Tuhan, buatlah aku semakin mampu mengenal dan mencintai-Mu lewat pernik-pernik hidupku hari ini. Amin.


HARI KAMIS PRAPASKA I
18 Februari 2016

TambEst 4,10a.10c-12.17-19
Mat 7,7-12

Posting 2015: Doa Jamu Air Manjur
Posting 2014: Praying Heart Implies Humility