Long Distance Faith

Saya bukan warga negara Inggris atau Skotlandia, bukan pembela kanselir Jerman, juga bukan pembela Paus Fransiskus, bukan pula promotor Uni Eropa (siapalah saya ini, halah…), tetapi referendum Brexit mengejutkan saya. Gak ngaruh, Mo, mbok arep referendum Brexit po Prexit kan Romo ya tetap makan tempe garit! Betul sih, tapi ini isu yang nyangkut bacaan pertama di benak saya.

Bacaan pertama itu berisi ratapan atas kondisi buruk bangsa Israel yang pada tahun 587 Sebelum Masehi mengalami kehancuran. Yerusalem dikepung oleh pasukan kerajaan Babilonia dan warganya jadi bulan-bulanan keberingasan tentara Raja Nebukadnezar. Menurut Kitab Ratapan, itulah akibat bangsa Israel melupakan Allah. Karena melupakan Allah, trus Allah menghukum, gitu? Lha kok Allahnya bangsa Israel ini pencemburu gitu? Mosok Allah cemburu? Cemburu, marah, njuk menghukum. Aneh banget sih Allahnya!

Haissssh! Bego’ gak selese-selese! Sudah berapa kali dibilang kalau kita bahas Allah, sudah otomatis bahasanya gak bisa dimaknai secara letterleijk. Cemburunya Allah gak sama dengan cemburunya pacar yang posesif. Boleh saja diibaratkan begitu, tetapi isinya gak gitu. Begitu juga halnya, kalau Allah menghukum umat yang melupakan-Nya, itu juga bukan berarti umat kecapekan dan lupa doa malam, njuk besoknya kena banjir atau tanah longsor! Itu juga bukan berarti orang main judi njuk besoknya ditembak mati. Ya bisa sih begitu, tetapi penalarannya bukan karena dia main judi lantas Tuhan menyuruh orang fundamentalis menembaknya sampai mati! Tuhan, bebaskanlah kami dari kebego’an macam begini!

Kecemburuan dan hukuman Allah pada umumnya bekerja melalui prosedur manusiawi yang sifatnya intelligible: bisa dimengerti lewat penalaran. Dalam kasus khusus bisa terjadi prosedur extraordinary, tetapi itu gak perlu diributkanlah, sukak-sukak Dia mau menghukum atau mengganjar orang bagaimana. Ini bukan blog extraordinary. Jadi, Kitab Ratapan itu memang meratapi kehancuran Yerusalem sebagai konsekuensi logis mereka melupakan Allah. Kalau orang melupakan Allah, bisa jadi ia mendewakan materi. Kalau ia mendewakan materi, bisa jadi muncul sikut-sikutan sana sini, mencari pemenang, mencari kuasa. Orang yang kalah bisa saja lalu mencari persekongkolan baru dengan pihak yang lebih kuat, dan begitu seterusnya sampai tiba pada masa kehancuran orang yang mendewakan materi tadi.

Hingga saat ini, kemanusiaan pun masih melupakan Allah, yang hendak menjadi Bapa bagi semua orang, tapi tak kunjung terwujud karena rasisme, radikalisme, paradigma chauvinistik, perusakan ekologi, distribusi sumber daya yang tak adil merata, dan sebagainya. Referendum Brexit bisa-bisa jadi simtom kemanusiaan yang tak tahan dengan proses memikul kebersamaan hidup (karena dari yang lebih dituntut lebih pula). Kalau begitu, bisa jadi itu juga merupakan cermin bagi setiap orang untuk mempertanyakan komitmen imannya seperti disodorkan perwira Romawi dalam bacaan Injil hari ini: Sabda Allah, itu sudah cukup.

Konteksnya jelas. Perwira Romawi itu berhitung-hitung: kalau menanti Yesus sampai di rumahnya, hambanya keburu mati; lebih baik ucapkan saja kata-kata penuh dayamu sekarang! Yesus tercengang ngang ngang dan cuma bilang,”Ya wes, terjadilah seperti apa yang kamu percayai itu.” Hamba perwira nun jauh di sana pun sembuh.

Ya Tuhan, tambahkanlah iman kami supaya Sabda-Mu ternyatakan melalui sharing daya yang Kau berikan kepada kami. Amin.


SABTU BIASA XII
25 Juni 2016

Rat 2,2.10-13.18-19
Mat 8,5-17

Posting Sabtu Biasa XII B/1 Tahun 2015: Iman Customer Service

2 replies

  1. Eah, paragraf awalnya sudah menarik banget nih. Kok lalu di akhir tulisan malah gak mmbahas soal refleksi sol brexit?
    Sebatas tulisan ini, saya jadi dapat perspektif baru ttg kputusan (mayoritas rkyat) inggris. Ya itu tadi, ini anda bahwa menanggung beban bersama itu berat, apalagi dalam waktu lama.
    Brexit fenomena yg unik, dan ya, suatu tanda sosial di jaman krisis ini. Kapan akan ada denouement, pembuntelan, refleksi dan ongkang obgkang bersama? Direfleksi sambil baca buku ah.

    Like

    • Dear mas Goofy, terima kasih berkenan mampir. Mohon maklum, ampun beribu ampun, blog ini tetap menjaga trek supaya tak masuk dalam ranah analisis sosial politik ekonomi (meskipun tetap ada satu dua tulisan murni soal politik). Selamat membaca buku, salam.

      Like