Monggo, Silakan…

Sejujurnya, frase ‘Kerajaan Allah’ atau ‘Kerajaan Surga’ bagi sebagian besar dari kita adalah kata-kata kosong. Ini bukan soal bahwa itu istilah eksklusif milik agama Kristen/Katolik. Sama sekali bukan. Bahkan juga bagi orang Kristen/Katolik, frase itu juga adalah kata-kata kosong. Maklum, sedikit saja orang yang mengalami hidup dalam nuansa kerajaan, bahkan meskipun tinggal di Yogyakarta atau Solo. Bisa jadi loh, istilah Kerajaan Allah itu merupakan spekulasi para pengarang Injil karena mereka akrab dengan atmosfer kerajaan dalam sejarah hidup mereka. Sejarah dunia juga dulunya begitu akrab dengan struktur kerajaan dengan batas wilayah tertentu, raja tertentu, warga tertentu.

Kerajaan Allah? Rasa-rasanya gak mungkin dibatasi oleh wilayah, juga tak dibatasi oleh suku, ras, bahkan agama. Jadi, tampaknya ketika disinggung soal Kerajaan Allah atau Kerajaan Surga, orang tak bisa menangkapnya sebagai kejayaan agama Kristen, misalnya. Itu jelas keliru dan memang Gereja juga pernah tersesat dengan identifikasi itu sehingga dulu mengkafir-kafirkan orang lain yang berbeda agama dan keyakinan. Satu-satunya pembatasan yang bisa dikatakan hanyalah pengakuan mendasar untuk tunduk kepada Allah atau tidak. Hanya mereka yang basic attitude-nya berpihak kepada Allahlah yang bisa jadi warga Kerajaan Allah itu.

Njuk Kerajaan Allah itu apa? Teks bacaan Injil hari ini tidak menjawabnya secara gamblang. Cuma ada analogi, dan Yesus memang senang mengajar dengan perumpamaan. Maka dari itu, perlu dicari karakteristik khas dari Kerajaan Allah atau Kerajaan Surga itu. Teks bacaan hari ini menyodorkan dua analogi: harta terpendam dan mutiara yang indah. Keduanya sama-sama menunjukkan impian yang hendak digapai orang bahkan dengan melepaskan ‘seluruh milikiya’. Dengan kata lain, ‘seluruh miliknya’ itu kurang lebih sepadan dengan harta terpendam dan mutiara yang indah itu.

Tapi apa ya itu harta terpendam dan mutiara indah yang sepadan dengan ‘seluruh milik’ kita? Entahlah, tetapi saya teringat pada kisah kecil seorang peziarah yang menumpang di rumah penduduk. Sebelum berangkat tidur, peziarah ini berbincang-bincang dengan pemilik rumah dan menceritakan bagaimana ia menemukan batu berkilau di jalan dan pemilik rumah berdecak kagum karena batu itu adalah permata yang sangat langka dan mahalnya setengah mati. Barangkali bisa dijual dan uangnya cukup untuk menghidupi tujuh keturunan. Pagi harinya, ketika berpamitan, peziarah itu menawarkan balas jasa kebaikan pemilik rumah itu. Ia menawarkan apa saja yang bisa dilakukannya bagi penduduk yang baik hati itu.

Tanpa pikir panjang, tuan rumah itu meminta mutiara yang ditemukan oleh peziarah itu dan si peziarah mengambil mutiara itu dari tas kumuhnya dan memberikannya kepada tuan rumah yang begitu berbinar-binar melihat mutiara berkilau itu. Peziarah itu meneruskan perjalanannya, tetapi begitu tiba di batas desa, ia dihentikan oleh tuan rumah tadi yang berlari mengejarnya. Si tuan rumah menyodorkan mutiara yang diterimanya dari peziarah.
“Saudara, ini saya kembalikan mutiaranya.” Sang peziarah tampak terkejut karena mutiara yang ditemukannya itu hendak dikembalikan kepadanya.
“Mengapa, Pak? Bukankah saya sudah berjanji memberikan apapun permintaan Bapak sebagai ungkapan terima kasih saya atas kemurahan hati Bapak?”
Si tuan rumah pelan-pelan berkata,”Saudara, bukan mutiara ini yang saya inginkan. Saya menginginkan sesuatu yang membuat Saudara dengan begitu mudahnya memberikan mutiara ini kepada saya.”


RABU BIASA XVII
27 Juli 2016

Yer 15,10.16-21
Mat 13,44-46

Posting Rabu Biasa XVII Tahun 2014: Happy Kok Maksa