Rujuk Nasional, Ehm…

Kemarin sempat iseng membaca berita dan muncul judul di seputar rujuk nasional itu dan lucunya sang presiden berkomentar kira-kira: emangnya yang berantem siapa sampai-sampai butuh suatu rujuk nasional? Hahaha betul juga ya, tetapi komentar itu tentu tak perlu ditelan mentah-mentah. Presiden tentu tahu bahwa dalam menjalankan tugas ia mendapat banyak kendala karena konflik kepentingan hadir di mana-mana, di setiap level. Dalam arti tertentu, sebetulnya banyak pihak yang berantem. Akan tetapi, bisa saja komentar itu mencerminkan sikapnya yang memandang konflik kepentingan sebagai dinamika yang wajar dan dia sendiri tidak menyisipkan kepentingan pribadinya di situ sehingga ia tak merasa diri ada dalam ajang berantem.

Teks hari ini mengisahkan panggilan rasul yang diawali dengan ‘pandangan dari mata turun ke hati’. Andreas, Petrus, Yohanes dan Yakobus dipanggil untuk mengikuti Yesus. Inisiatif datang dari Yesus. Analog dengan itu, panggilan orang beriman juga datang pertama-tama dari Tuhan, dari hidayah, bukan dari usaha manusia sendiri dengan aneka teknik atau trik tertentu. Konon, kata ‘melihat’ dalam teks ini juga bisa jadi sinonim bagi kata ‘mencintai’: ini adalah soal melihat dengan kedalaman, melihat dengan hati, dengan visi, bukan melihat dengan bola mata yang rentan penyakit katarak, glukoma, buta warna, dan sebagainya.

Ini soal inisiatif panggilan, termasuk panggilan akan rujuk nasional. Coba bayangkan Anda digampari tetangga sepuasnya dan ia merampas barang milik Anda dan setelah beberapa waktu kemudian Anda bersama tetangga itu duduk dalam satu kepengurusan, lalu dia mengajukan usul untuk ‘rujuk nasional’. Tentu Anda bisa bertanya: maksud lo?
Ini secara konkret berlaku juga dalam hidup rumah tangga. Tak sedikit korban KDRT yang terus menerus berada dalam lingkaran itu karena menyukai ‘rujuk nasional’ yang disodorkan oleh pelaku kekerasan itu. Pagi hari ditendang, siang hari ditampar, malam hari ‘rujuk nasional’, sehingga besok ditendang lagi dan siang hari ditampar supaya malam harinya bisa ‘rujuk nasional’. Ya gitu wae terus…

‘Rujuk nasional’ baru berarti kalau inisiatifnya muncul dari kedalaman hati, bukan dari kepentingan defensif pihak yang merugikan atau dendam kesumat dari pihak yang dirugikan. Pembentukan suatu Komite untuk Kebenaran dan Rekonsiliasi yang ada di Afrika Selatan dan Kanada misalnya, mengandaikan adanya keterbukaan semua pihak pada kenyataan bahwa ada rezim korup yang dengan cara kasar atau lembutnya merampas kewarasan hidup bermasyarakat. Maka, ini pasti bukan problem pribadi sang presiden yang berkomentar tentang tidak relevannya ‘rujuk nasional’. Akar persoalan justru ada di rezim sebelumnya yang hendak mencari tameng untuk menyelamatkan muka supaya bisa lepas dari tanggung jawab atau bentuk denda terhadap aneka tindak korupsi mereka, misalnya.

Kalau begitu, alih-alih ‘rujuk nasional’, dari perspektif hidup rohani, yang dibutuhkan adalah suatu ‘tobat nasional’ dan karena tobat pertama-tama adalah soal keterlibatan aktif merekayasa suatu bonum commune, setiap pihak dipanggil untuk koreksi diri: sejauh mana ia tersangkut dengan rezim korup yang opresif, sebagai anggota lembaga pemerintahan, LSM, agama, maupun sebagai pribadi. Tanpa koreksi diri dan kesediaan untuk mengorientasikan diri pada bonum commune itu, ‘rujuk nasional’ cuma jadi trik lain untuk mempertahankan kepentingan rezim.

Tuhan, mohon rahmat untuk bertobat dan mengikuti-Mu. Amin.


PESTA S. ANDREAS RASUL
(Rabu Adven I)
30 November 2016

Rm 10,9-18
Mat 4,18-22

Posting Tahun Lalu: Saudara Seiman