Kerja Miapah

Profesi dokter senantiasa menarik simpati saya karena dalam profesi itu sudah terkandung keterarahan langsung kepada orang lain (atawa hewan lain) yang kualitas hidupnya perlu dikembangkan. Bahwa tak sedikit orang ingin jadi dokter karena bisa mengeruk duit dari pasien, itu tak beda jauh dari orang yang mau jadi pastor/romo karena bisa jadi terkenal dan memungut duit dari umatnya. Ini motif yang agak-agak saru tetapi toh masih bisa diperbaiki dalam prosesnya. Kalau toh orang jadi dokter tetapi motif dan orientasinya tetap pada duit-money-fulus, profesi dokter itu bukan personal vocationnya dan kalau orang tidak menghidupi personal vocation-nya, ia tidak happy, tidak tulus, tidak total juga dalam pengabdiannya kepada kemanusiaan. Yang ini tentu tidak hanya berlaku untuk profesi dokter. 

Tokoh sableng kita mengumpamakan apa yang dibuatnya itu seperti tindakan dokter. Keahlian teknisnya sendiri adalah sebagai tukang kayu, tetapi personal vocation-nya seperti dokter. Ia hanya relevan untuk mereka yang sakit. Maka, adalah skandal jika ia dijauhkan dari orang sakit atau sebaliknya. Itulah jawaban yang disodorkannya dalam debatnya tadi malam #eh. Para ahli Taurat dan orang Farisi sewot karena Yesus ini merusak tatanan. Sekian lama mereka menghidupi hukum yang membebaskan mereka dari kontaminasi para pendosa yang menajiskan, ini malah Yesus enak-enakan aja pesta makan bersama para pendosa itu!

Jawaban Yesus itu sebetulnya bisa jadi pertanyaan bagi ahli Taurat dan orang Farisi: keahlianmu itu semua diabdikan untuk apa atau siapa sih? Konkretnya, kalau orang mendalami hidup keagamaan, ujung-ujungnya untuk apa atau siapa sih? Untuk Tuhan? Mbelgedhes! Butuh apa lagi Tuhan dari manusia busuk? Apa Anda kira orang seperti saya atau biarawati (beneran biarawati loh ya, bukan yang jadi saksi itu tuh) yang maju ke altar untuk dipersembahkan kepada Tuhan itu memang hidup manusiawinya dikorbankan untuk Tuhan? Gak ada kamusnya Tuhan butuh sesajen! Ada sih di Perjanjian Lama, tetapi itu praktik basi yang juga sudah diberi catatan kritis oleh penulis Perjanjian Lama sendiri: Apakah Tuhan itu berkenan kepada korban bakaran dan korban sembelihan sama seperti kepada mendengarkan suara Tuhan? Sesungguhnya, mendengarkan lebih baik dari pada korban sembelihan, memperhatikan lebih baik dari pada lemak domba-domba jantan (1Sam 15,22 ITB). Lagi: Melakukan kebenaran dan keadilan lebih dikenan TUHAN dari pada korban (Ams 21,3 ITB).

Kalau bukan untuk Tuhan, njuk untuk apa dan siapa dong? Ya siapa lagi yang ada? Diri sendiri? Ada orang bercita-cita jadi dokter untuk mengobati sakitnya sendiri? Ada orang ingin jadi pedagang untuk bertransaksi dengan dirinya sendiri? Adakah orang yang ingin jadi sopir bus demi om telolet om belaka? 

Orang yang tak menemukan personal vocation-nya akan jatuh pada hidup narcisistik. Kesalehan yang dibangunnya jadi citra kesucian individual yang setara dengan korban sembelihan tadi. Panggilan pribadi adalah roh yang menjiwai profesinya sehingga hidupnya terarah pada pemuliaan kemanusiaan secara konkret: ketika ia memakai kekuatannya untuk memberdayakan yang lemah. Tanpa panggilan pribadi ini, orang lemah jadi komoditi dan ketuhanan adalah utopia. 

Tuhan, semoga kami menemukan personal vocation kami dan setia di dalamnya untuk memuliakan hidup bersama kami. Amin.


SABTU BIASA I A/1
14 Januari 2017

Ibr 4,12-16
Mrk 2,13-17

Posting Tahun C/2 2016: Batu Sandungan
Posting Tahun B/1 2015: Bukan karena Rupamu