Saya hendak bertanya kepada Bapak Pesinden dan Kak Plori [pakè èp bukan èf]: kenapa hari gini masih ada saja orang yang main dukun di persidangan sehingga JPU-nya ngantuk, kenapa si penista agama itu menghalalkan segala cara untuk membuat saksi tidak kompak dan berdusta dalam persidangan? Wah, mboh deh, bikin baper aja! Tapi mungkin ada baiknya loh mencamkan kata-kata Pak Bapernikus Vacitanus (korban invisible group di medsos): setiap orang berhak bebas dan mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminatif! Mantap, kan?
Sudah sejak zaman Adam dan Hawa terperosok dalam dosa, manusia terdiskriminasi dari nirwana atau surga atau firdaus atau bagaimanapun itu mau diistilahkan. Akibatnya apa? Akibatnya orang pun membuat diskriminasi terhadap yang sakral dan yang profan. Indikasinya apa? Indikasinya dalam bangunan bait Allah orang Israel, misalnya, ada batas yang jelas antara ruangan yang sakral dan yang tidak. Gak semua orang bisa masuk ke area sakral, hanya imam tertentu, dan celakanya, kalau imam itu korup, ancur ya ancurlah yang sakral itu jadi profan. Dalam istilah populer sekarang itu disebut penistaan (Istilah khusus dalam Gereja Katolik ialah sakrilegi. Ada baiknya tahu istilah itu dan contoh-contohnya, silakan baca sendiri, berdua juga boleh): yang sakral diperlakukan secara profan, dan sebaliknya, yang profan diperlakukan secara sakral.
Ketika Kitab Suci diperlakukan sebagai senjata politik praktis, saat itulah terjadi penistaan. Misalnya, pemimpin ibadat mengutip ayat Kitab Suci supaya orang mengumpulkan duit untuk membangun gedung gereja. Itu sudah penistaan, apalagi kalau bersifat memaksa dan akhirnya pemimpinnya malah menilep duit itu. Kitab Suci dimaksudkan supaya pembacanya membangun relasi dengan Allah, bukan supaya dilanggengkan diskriminasi. Itu juga mengapa Martin Luther melakukan protes keras terhadap kebijakan Gereja Katolik pada abad gelap dulu: umat ditakut-takuti gambaran neraka supaya mau memberi sumbangan. Ini penistaan dan membuat diskriminasi: yang punya duit bisa selamat, yang gak punya duit ya terima aja nasib lu di neraka.
Bacaan hari ini menunjukkan warta pembebasan yang disodorkan Yesus. Ia hendak menghancurkan sekat antara yang sakral dan profan, antara altar dan pasar, antara yang murni dan ternoda, tetapi tanpa penistaan. Lah piye toh Rom, tadi katanya penistaan itu mencampuradukkan yang sakral dan yang profan, lha kok sekarang batas sakral dan profan dihancurkan tanpa penistaan. Gak mungkin amat! Mungkin sekali, Kawan, kalau batas itu berupa ketulusan hati atau hati yang tulus.
Dari hati yang tulus, yang profan mendapat kesuciannya dan yang suci mendapat tempat mendaratnya. Problemnya, tidak semua orang sungguh mau diuji ketulusannya dan tetap tinggal dalam ilusinya sendiri tentang ketulusan. Maaf, tidak sedang promosi buku Cara Menguji Ketulusan Cinta, tetapi memang yang diomongkan Yesus bahwa dari dalam hati timbul aneka hal yang menajiskan itu persis persoalannya: tak semua orang berani masuk ke kedalaman hatinya.
Ya Tuhan, mohon rahmat supaya kami mampu peka terhadap hati kami sendiri. Amin.
RABU BIASA V A/1
8 Februari 2017
Posting Tahun B/1 2015: Apa Yang Mencolot dari Hatimu?
Categories: Daily Reflection