Ora Mesti

Andai saja kesadaran bahwa being religious is always being interreligious sudah muncul tiga milenium lalu, mungkin takkan pernah ada lembaga agama yang sarat kepentingan politis pelestarian agama itu sendiri. Setiap orang akan memperkaya religiositasnya justru dalam perjumpaan dengan yang lain dan perjumpaan ini tak kunjung usai selagi bangsa manusia masih ada, takkan ada perang di Timur Tengah dan belahan dunia lain yang mencatut Allah agama. Tapi begitulah, cuma berandai-andai… dan kerap kali roh jahat malah dengan nyamannya masuk lewat berandai-andai itu.

Pada kenyataannya, dari zaman ke zaman, zona nyaman itu semakin menarik seiring dengan bertambahnya usia orang dan kebenaran pun dipandang melulu dari perspektifnya sendiri. Padahal, jika menilik sejarah panjang penciptaan dan keselamatan dari Allah itu, jelas ditunjukkan bahwa aneka sabda Allah disampaikan, kata demi kata, kitab demi kitab, nabi demi nabi, agama demi agama. Cuma satu saja kesalahan orang: membaca kata per kata, menafsirkan kitab demi kitab, memahami nabi demi nabi, menilai agama demi agama, berdasarkan sak karêpé wudêlé dhéwé, menurut kaca mata kudanya sendiri. Tak ada perjumpaan, tak ada fusion of horizons, yang sebetulnya berarti juga tak ada pemahaman utuh alias kurang gênêp.

Padahal, kebenaran dari Allah yang sejati takkan pernah tertampung oleh satu perspektif. Seorang Augustinus pun ditegur anak kecil yang menunjukkan kepadanya betapa tidak mungkinnya memasukkan misteri Allah dalam otaknya yang terbatas tempurung kepala itu. Kebenaran dari Allah yang sejati, yang dijanjikan-Nya kepada Abraham, baru terpahami jika orang menangkap kata demi kata, kitab demi kitab, nabi demi nabi, dan agama demi agama dalam perspektif yang terbuka kepada Allah yang melampaui kata, kitab, nabi, dan agama itu sendiri.

Tak mengherankan, Yesus mempertanyakan keyakinan bangsa Yahudi akan Mesias sebagai anak Daud, bukan dengan maksud untuk menyangkalnya, melainkan supaya orang menangkap poin pentingnya: Mesias itu adalah pribadi yang melampaui aneka pola pikir tentang kejayaan sejarah duniawi. Ini bukan soal kerajaan makmur sentosa dengan kekayaan alam berlimpah ruah dan kekuasaan luas. Ini adalah kerajaan hati, nurani. Yang berkuasa di situ adalah Pribadi yang hanya mungkin ‘dibaca’ dengan being interreligious tadi, bukan dengan sinkretisme campur aduk gak karuan, bahkan meskipun rasanya enak seperti nasi rames.

Ya Tuhan, mohon rahmat supaya kami senantiasa peka mendengarkan gerakan batin yang Kausodorkan kepada kami lewat imajinasi, hati, budi, dan kehendak kami. Amin.


Jumat Biasa IX 1/A
9 Juni 2017

Tb 11,5-17
Mrk 12,35-37

Jumat Biasa IX 1/B 2015: Keselamatan Tidak Otomatis