Tadi malam saya mengikuti acara gathering orang-orang muda yang beberapa waktu lalu terlibat dalam perhelatan Asian Youth Day di Yogyakarta. Banyak teman muda, termasuk para relawan dari kelompok Gusdurian dan Muhammadiyah, membagikan buah refleksi mereka dalam proses penyelenggaraan acara itu. Sebagian besar teman Muslim ini mendampingi peserta AYD supaya mereka memiliki gambaran bagaimana Islam di Indonesia senyatanya. Ada banyak pertanyaan dari orang-orang muda Katolik Asia yang gampang-gampang susah juga untuk menjawabnya.
Akan tetapi, yang menarik perhatian saya ialah ketika Akbar ini mulai masuk dalam pertanyaan sensitif mengenai pengelompokan-pengelompokan yang ada dalam Islam. Entah bagaimana alurnya (mungkin karena saya sudah mendahului mencicipi sate kambing menjelang Idul Kurban), pokoknya tiba-tiba dia mengatakan kurang lebih begini: pertahanan terbaik ialah dengan menyerang, tetapi dalam situasi ini (sewaktu dia mendampingi orang-orang muda Katolik Asia) strategi itu tidak tepat karena yang saya hadapi adalah saudara sendiri. Tentu ini mendapat applause dari peserta gathering saat itu yang mayoritas beragama Katolik.
Dari mana datangnya tepuk tangan itu? Tidak ada pemandu sorak. Itu spontan. Saya sendiri tidak ikut bertepuk tangan (lha piye wong tangan kiri memegang piring dan tangan kanan tusuk sate, mosok tusuk-tusuk telapak tangan), tetapi saya sadar bahwa sikap dasar menerima orang lain sebagai saudara adalah salah satu manifestasi orang beriman. Syukurlah, Akbar dapat mengambil jarak terhadap agama Islam sendiri sehingga pertanyaan-pertanyaan yang agak susah menjawabnya itu tidak diterima sebagai bentuk serangan terhadap Islam. Barangkali pesan guru dari Nazareth untuk berjaga-jaga pada masa sekarang ini bisa dimengerti seperti Akbar mengambil jarak terhadap agamanya.
Saya tidak mengatakan bahwa ‘agama hanyalah sarana’. Saya cenderung berhati-hati kalau sudah ada keterangan ‘hanya’. Agama adalah sarana, jelas, tetapi bukan ‘hanya’ atau ‘cuma’ sarana. Kata ‘hanya’ cenderung mengesampingkan pentingnya agama. Bahkan meskipun para ahli agama menunjukkan problematika kata ‘agama’ yang penuh muatan politik kekuasaan, itu tidak otomatis menghilangkan relevansi ‘agama’ sendiri. Sikap berjaga-jaga yang dimaksud Yesus selalu berarti sikap iman tertentu: supaya orang terus menerus sadar bahwa agama dimaksudkan untuk mengantar orang kepada sosok yang karenanya manusia menciptakan agama. Sikap ini menolak lupa akan sejarah kelam agama-agama yang penuh kekerasan karena tak ada paradigma sesama sebagai saudara.
Ya Allah, mampukanlah kami untuk memanfaatkan sarana sebaik-baiknya supaya Engkau menjadi Bapa bagi semua orang dan umat manusia menjadi saudara satu sama lain. Amin.
HARI KAMIS BIASA XXI A/1
31 Agustus 2017
Kamis Biasa XXI C/2 2016: Just in Case
Categories: Daily Reflection