Takut Bangkit, Takut Jatuh

Nama yang diperingati Gereja Katolik hari ini adalah nama yang dulu saya benci: Andreas. Itu nama salah satu rasul Yesus. Kok bisa saya benci ya? Ya namanya juga anak-anak, masih gampang hanyut oleh perasaan, ciyeh…. Sebelum masuk SD saya menempuh studi (ya ampun, TK aja studi bo‘) di taman kanak-kanak yang mayoritas, tentu saja, teman saya yang berasal dari keluarga beragama mayoritas. Lha saya itu setiap kali ditakut-takuti bagaimana nanti masuk neraka dan bagaimana saya akan mati disalib.

Ini bukan untuk mendiskreditkan agama mayoritas, melainkan memaparkan dinamika yang saya hidupi. Agama mayoritas atau minoritas ya sama saja (karena minoritas di sini bisa jadi mayoritas di sana, dan sebaliknya), mesti punya potensi arogan dalam diri penganutnya. Pokoknya saya benci sekali yang berbau-bau Katolik atau Gereja. Sampai saya melanjutkan studi di Sekolah Dasar (setdah…SD aja studi lanjut!) yayasan Katolik di Djakarta, saya masih membawa kebencian itu.

Ibu saya Katolik, mengusulkan saya pakai nama Andreas di sekolah dan saya ngotot tidak mau. Dia tidak tahu bahwa penggalan nama yang saya banggakan itu akan populer di abad ke-21 di kalangan anak muda (trus gue mesti bilang waw gitu?). Tahun pertama saya masih bisa mempertahankan nama kebanggaan saya itu. Begitu juga tahun kedua. Tetapi pada masa senior (ya ampun, kelas tiga SD senior?), saya akhirnya mengalah karena teman saya yang lain ternyata nama lengkapnya memang memuat kata waw tadi: Wawan.

Jadilah saya dipanggil Andre, Andreas, dengan muka masam. Tak ada kebanggaan sama sekali dengan nama itu sampai saya bertemu dengan seseorang di Stuttgart yang adalah pelatih profesional olah raga tenis meja. Jebulnya nama saya itu populer di Jerman, hahaha…. Pantaslah saya ini ‘asal Jerman’, entah di Premier League atau La Liga (omong apa je, Mo?).

Meskipun demikian, saya gak asal cerita waton Jerman itu lho ya. Dari bacaan hari ini saya bayangkan Andreas ini sedang sibuk-sibuknya dengan pekerjaan sebelum panggilan Tuhan datang. Persis itulah yang sering tak diyakini orang modern: bahwa Allah boleh dan bisa menyerukan panggilannya pada saat hidup kita sibuk seperti biasanya. Orang takut bahwa panggilan dari Allah itu terus akan mencabutnya dari keseharian. Bahkan, orang mengira panggilan Tuhan itu datangnya pas orang lagi suci-sucinya. Itu kan mbelgedhes. Justru bisikan Allah itu merasuk dalam peristiwa biasa sedemikian rupa sehingga orang tak menganggapnya sebagai panggilan Allah sendiri.

Andreas menangkap panggilan mulia itu dan konon dia menanggungnya sampai mati disalib dengan kayu palang berbentuk X. Oalah, pantesan saya dulu takut setengah mati dipanggil Andreas, wong matinya disalib gitu.

Tuhan, mohon rahmat kejernihan hati dan budi supaya dapat menangkap gerakan Roh-Mu dalam peristiwa, kesibukan sehari-hari yang serba biasa. Amin.


PESTA S. ANDREAS RASUL
(Kamis Biasa XXXIV A/1)
30 November 2017

Rm 10,9-18
Mat 4,18-22

Posting Tahun 2016: Rujuk Nasional, Ehm… 
Posting Tahun 2015: Saudara Seiman