Skandal Jepit

Akhir bulan lalu saya dapat surat cinta-bersyarat: saya mesti bayar denda pajak.😂😂😂 Padahal, saya sudah bikin laporan SPT sebelum 31 Maret lalu sesuai dengan bimbingan mas-mas yang baik hati dan sopan (mosok sopran). Andai saja saya bisa bikin lelucon untuk bayar pajak seperti dibuat Guru dari Nazareth itu! Tapi, baiklah nanti saya klarifikasinya dosa saya apa.

Guru dari Nazareth bayar pajak dengan koin yang diperoleh dari mulut ikan. Sebetulnya ia sudah punya jenis pajak lain yang membuat koin pajaknya itu tak ada apa-apanya, tapi toh ia tetap membayar pajak juga supaya tak jadi skandal. Poin skandal inilah yang kadang malah jadi skandal, sekurang-kurangnya bagi saya, bukan karena saya anggota kelompok skandal jepit, eaaa…
Menurut kamus bukan bahasa Indonesia, skandal itu bisa berarti cause of offense, stumbling block, atau temptation/inducement to sin.

Bagaimana Guru dari Nazareth ini mengusahakan dirinya supaya tak jadi skandal? Kerohaniannya menjejak tanah tempat ia berpijak. Mungkin dalam peribahasa Indonesia: di mana langit dijunjung, di situ bumi dipijak (eh terbalik ya?). Beberapa waktu lalu pada dinding medsos saya muncul foto sebuah panorama jalan di wilayah Jawa Barat yang ternyata pernik-perniknya adalah tulisan-tulisan berbahasa Arab. Wow… serasa bukan di Jawa Barat, dan itu adalah contoh pelecehan peribahasa tadi. Ada segelintir orang yang mau menjunjung langit, tetapi dengan jalan menginjak-injak tanah yang memberinya kehidupan di situ.

Loh, katanya di mana langit dijunjung, di situ bumi dipijak, Rom? Iya, tetapi menginjak rumput kan beda nuansanya dari menginjak-injak rumput, dan itulah mengapa ideologi yang menentang Pancasila lebih cocok disebut menginjak-injak rumput daripada memijak bumi tempat orang menjunjung langit. Apakah ini cuma soal usung-usungan khilafah? Tentu tidak. Skandal bisa bermacam-macam, dan yang bagi saya tidak gampang ialah mengikuti nasihat rohani pendahulu saya yang hidup pada abad XVI dulu.

Apa nasihatnya? Beliau bilang supaya orang beriman menghindarkan diri dari hal yang bahkan hanya seolah-olah kelihatan sebagai ‘dosa’. Orang tidak hanya dilarang mencuri, tetapi juga disarankan tidak melakukan hal yang memberi kesan bahwa ia mencuri. Itu sudah! Berat skale’… terutama untuk orang seperti saya. Contohnya kemarin saya sharingkan. Katanya hidup miskin, tapi kok punya kamera yang harganya mahal? Begitulah kesannya, dan bukankah kesan yang diterima orang lain tak akan peduli dengan bagaimana kamera itu diperoleh (harga murah abis)? Di sini orang bisa berdebat ngalor-ngidul.

Akan tetapi, poinnya, menurut saya, ialah bahwa kredibilitas orang yang mewartakan kabar gembira bergantung pada konsistensi dan transparansinya. Maka, tak mungkinlah orang menyodorkan kemiskinan jika ia malah memperkaya diri. Tak mungkinlah orang mewartakan kabar gembira kalau hidupnya sendiri buram-curam-muram-suram. Tebusannya: orang mesti transparan dan konsisten terhadap Tuhan dan sesamanya.

Dengan itu, saya tak hendak menampik saran senior saya untuk bahkan menghindarkan kesan alias ja’im, karena kesan itu bisa positif bisa negatif, dan ‘memberi atau menghindari kesan’ bukanlah segala-galanya. Yang penting kesan yang dijaga itu memang klop dengan kontennya: relasi autentik dengan Allah dan sesama.

Tuhan, mohon rahmat kerendahhatian-Mu. Amin.


SENIN BIASA XIX C/1
12 Agustus 2019

Ul 10,12-22
Mat 17,22-27

Senin Biasa XIX B/2 2018: Kesandung Toilet
Senin Biasa XIX A/1 2017: So Sweet
Senin Biasa XIX C/2 2016: Sederhana Saja

Senin Biasa XIX A/2 2014: Tuntutan Etis Privilese