Drop your false beliefs

Forgive dan forget itu tak berjodoh, kecuali forgetnya bersifat intransitif alias diterjemahkan sebagai ‘lupa’ alih-alih ‘melupakan’. Soalnya, melupakan objek itu contradiction in terminis, beda dengan kelupaan atau lupa. Jadi, cukuplah forgive dan fokus saja pada apa yang ada di depan mata atau apa yang lebih besar dalam hidup ini, niscaya orang tak akan meminjamkan kekuatan kepada objeknya untuk mengusik kebahagiaannya.

Singkatnya, kalau orang berfokus pada energi untuk mencinta, ia tak perlu susah dengan aneka beban yang seringkali adanya cuma di kepalanya sendiri. Itu mengapa Anthony de Mello memberi tips sederhana bahagia: drop your false beliefs. Yang susah tentulah mereka yang punya kelekatan terhadap false beliefs itu karena menganggapnya sebagai true beliefs.
Loh, Rom, bukankah “Tiada Tuhan selain Allah” itu true belief? Bukankah “Delapan Jalan Kebenaran” itu juga true belief? Bukankah “Kristuslah Jalan, Kebenaran, dan Hidup” itu juga true belief?

Betul, tetapi persoalannya bukan apakah ketiganya true beliefs atau bukan, melainkan bagaimana hidup Anda sinkron dengan ketiga proposisi itu. Ketiganya berhenti jadi true beliefs ketika hidup Anda tidak sinkron dengannya, tetapi juga ketika Anda memaknainya secara subjektif belaka alias semau Anda sendiri. Ini bukan soal bahwa ada Tuhan selain Allah, atau jalan kebenaran itu ada sepuluh, atau jalan, kebenaran, dan hidup itu dimanifestasikan oleh sosok selain Kristus, melainkan bahwa perspektif sempit orang menghilangkan makna universal.

Mari lihat teks bacaan versi panjang dari ayat 1-32. Teks ini diawali dengan latar belakang para pemungut cukai dan orang-orang berdosa yang datang untuk mendengarkan Guru dari Nazareth. Siapakah pemungut cukai dan orang-orang berdosa itu? Mereka yang secara objektif tak butuh apa-apa lagi, semua sudah mereka punyai dengan duit berlimpah mereka, bagaimanapun duit itu diperoleh. Nah, para pemuka agama saat itu bersungut-sungut karena Guru dari Nazareth menerima para pendosa itu. Bagi mereka, orang berdosa itu ya najis, dan yang najis tak boleh bercampur dengan yang tak najis.

Terhadap reaksi itulah Guru dari Nazareth menyodorkan metaforanya. Tentu cerita panjangnya ada pada ayat 11-32, tetapi dua analogi awalnya pada ayat 1-10 tak kalah penting untuk menjelaskan sifat kerahiman Allah.
Yang pertama menunjukkan rasionalitas yang bertentangan dengan perhitungan manusiawi: meninggalkan sembilan puluh sembilan demi yang satu, benar-benar absurd. Yang kedua menunjukkan sukacita keibuan atas diketemukannya kembali satu dirham yang hilang. Apakah perempuan ini mata duitan atau bagaimana?
Bukan itu poinnya. Dua analogi itu ditutup dengan undangan “Bersukacitalah bersamaku karena….”

Begitu pula perumpamaan ‘anak yang hilang’. Ujung-ujungnya juga ajakan sang ayah “kita patut bersukacita dan bergembira karena…” Tidak diinsinuasikan bahwa sang ayah melupakan kesesatan hidup anaknya. Sebaliknya, ia ingat betul kelakuan anak bungsunya, tetapi sukacita atas kembalinya si bungsu jauh lebih hidup daripada aneka sikap negatif, sebagaimana seorang ibu, dengan segala keterbatasannya bisa menerima anak-anaknya, baik yang tersesat maupun yang tak tersesat. Maka, bukan lagi forgive and forget, melainkan forgive and love more, dan untuk bisa lebih mencinta, orang benar-benar mesti bisa dropping the false beliefs

Itu rupanya kemampuan yang tak dimiliki pemuka agama saat itu dan akibatnya mereka cuma bisa bersungut-sungut, tidak happy.

Tuhan, ajarilah kami sukacita kerahiman-Mu. Amin.


HARI MINGGU BIASA XXIV C/1
15 September 2019

Kel 32,7-11.13-14
1Tim 1,12-17
Luk 15,1-32 (1-10, 11-32)

Posting 2016: Allah Korup