Lagi-lagi Salib

UAS sudah lewat, tapi percayalah, pokok problem yang berkenaan dengan UAS belum lewat. Keributan yang belakangan terjadi di Indonesia berkenaan dengan salib itu muncul karena kebocoran ranah privat ke ruang publik tetapi itu artinya memang ada masalah dalam orang memandang kompleksitas agama lain. Kalau di sebagian wilayah Indonesia palang salib jadi momok sehingga sebisa mungkin dienyahkan dari muka bumi, di sebagian wilayah Jerman justru diupayakan supaya jadi momok, yaitu dengan mendesakkan salib dipasang di sekolah publik. Horotoyoh…. Apakah ini soal mayoritas-minoritas? Mungkin, karena power tends to corrupt.

Akan tetapi, selama cara beragama itu korup, entah mayoritas atau minoritas, hidupnya tetaplah korup. Maka, salib bisa jadi momok bukan hanya untuk orang non-Kristen, melainkan juga orang Kristennya sendiri. Kenapa? Karena salib dipandang sebagai identitas agama belaka, dan tak pernah jadi identitas imannya. Maksudnya gimana toh, Rom?
Identitas agama lebih eksklusif sifatnya, sedangkan identitas iman lebih inklusif. Contohnya, gak mungkin dong orang non-Kristen yang waras memakai tanda salib untuk memulai doanya. Memulai sesuatu yang lain bisa jadi, tetapi lucu aja orang memulai doanya dengan sesuatu yang tak bermakna. Di situ, tanda salib adalah identitas agama. 
Maka dari itu, kadang bisa ditemukan juga pembedaan salib Kristen dari Katolik (yang menurut saya sih tidak relevan) sebagai agama: yang Kristen gak ada corpus (bacanya korpus, maksudnya badan), yang Katolik mesti ada. Begitulah identitas agama: bertendensi membuat fragmentasi.

Loh, tapi kok itu ada orang Katolik ke gereja pakai peci, Rom? Sarungan segala? Gak betul dong identitas agama membuat fragmentasi!
Peci dan sarung bukan identitas agama, melainkan kultur. Kalau itu identitas agama, percaya deh, tendensinya mesti eksklusif.

Sebaliknya, identitas iman merangkul keberbedaan. Misalnya, sebagai orang Katolik, saya boleh mengatakan bahwa salib Katolik itu bercorpus sebagai memori akan sosok Guru dari Nazareth, bukan salib sebagai kebiasaan orang Romawi dulu menghukum siapa pun yang merongrong kekuasaan. Akan tetapi, juga sebagai orang Katolik, bukankah saya bisa memetik sesuatu dari inspirasi non-Katolik: salib itu tanpa corpus, karena kamulah yang semestinya ada di situ, kamulah yang jadi corpusnya. Dengan kata lain, meskipun saya Katolik, untuk menghidupi iman saya sendiri, keterbukaan pada inspirasi dari agama lain justru memperkaya, bukan?

Sikap dasar untuk belajar dari agama lain itu sebetulnya juga merupakan manifestasi salib: kalau meyakini sosok Yesus Kristus adalah Allah yang menyejarah, berarti meyakini juga sosok Allah yang mengambil wujud lain, bukan? Kenosis, pengosongan diri, berarti merujuk pada keterbukaan pada yang lain.
Kenapa orang beragama susah bersikap dasar dengan inspirasi salib itu? Karena cara menghidupi agamanya sendiri secara metodologis keliru: Ours is the way of God! Kata ganti ours sudah merujuk pada sesuatu yang partikular, lha kok bisa-bisanya memastikan bahwa yang partikular itu adalah jalan Allah, yang diklaim universal itu? 

Mengapa orang tak mau belajar dari agama lain? Ya karena salib tinggal jadi momok. Untuk keluar dari kungkungan agama sendiri, orang disalib, menghidupi salib. Lha siapa yang mau disalib?😂😂😂

Tuhan, mohon rahmat keberanian untuk menghidupi salib-Mu. Amin.


PESTA SALIB SUCI
(Sabtu Biasa XXIII C/1)
14 September 2019

Bil 21,4-9
Flp 2,6-11
Yoh 3,13-17

Posting 2018: Winning Lap
Posting 2017: Agama Cinta
 

Posting 2016: Sakit Dipelihara

Posting 2015: Bonceng Yesus

Posting 2014: Kesucian Salib