Di Mana Surgamu, Mbak?

Ini bukan soal lampu hazard, tapi masih terhubung dengan lalu lintas. Mungkin hidup ini memang seumpama lalu lintas karena berhubungan dengan perjalanan juga. Macam-macam tujuannya, dan masing-masing orang tentu mau sampai ke tujuannya. Kalau tidak, ngapain juga dia mesti melakukan perjalanan, bukan?

Kemarin di sebuah perempatan, saya ikut suatu antrean. Ini memang menu favorit perempatan berlampu merah, kebanyakan orang rela ikutan antre. Persis di depan saya, di pinggir kiri jalan mepet trotoar, ada motor yang menyalakan lampu sein ke kiri juga. Yang menungganginya embak-embak, sekurang-kurangnya seharusnya gitu karena pakaiannya berjenis kelamin perempuan.😂
Motornya ini jenis motor yang tarikannya lebih joss daripada tarikan awal motor saya. Betul saja, setelah lampu hijau menyala, mak jranthal gitu, sementara saya butuh beberapa detik untuk menyusulnya. Akan tetapi, begitu saya hendak pindah gigi, mbak-mbak itu mendadak ngêrèm motornya dan untunglah orang setua saya ini masih sigap untuk menghindar dan syukurlah tak ada motor lain di sebelah kanan saya sehingga tak terjadi kecelakaan.

Saya masih sempat membunyikan klakson sambil melirik apa yang dibuat mbak-mbak cantik itu: memiringkan motornya ke kiri, mengulurkan tangan kanannya, dan saya kira dia memberikan uang kepada pengemis yang bersandar pada dinding pagar bangunan di trotoar itu.
Saya tidak menyesal telah membunyikan klakson, meskipun maksud saya tentu tak terkomunikasikan via klakson. Boleh saja mengais rezeki surgawi di mana-mana, Mbak, tapi mbok ya sadar Embak itu pemimpin saya di depan, lha kok malah membahayakan anak buahnya?

Teks bacaan ini menyinggung soal pemimpin buta, tapi tentu bukan soal buta mata fisik, melainkan buta mata batinnya. Macam mana pemimpin yang buta mata batinnya? Lha ya macam saya dan Andalah, mau macam siapa lagi?
Ya, tentu macam mereka juga yang keliru memahami persoalan surga-neraka, seakan-akan surga-neraka ini adalah soal ruang-waktu. Ya betul menyangkut ruang waktu, tapi surga-nerakanya sendiri mengatasi ruang-waktu.

Maksudnya gimana sih Rom kok muter-muter begitu?
Bisa jadi mbak-mbaknya tadi berpikir begini: biar tabungan amal baik di surga kelak makin banyak, baiklah aku bersedekah kepada pengemis itu. Artinya, surga itu kelak dan entah di mana, bukan? Dengan kata lain, surga itu bukan sekarang ini dan di sini.
Loh, memang surga itu bukan sekarang dan di sini toh, Rom? Mosok surga di tempat yang masyarakatnya kacau begini, orang rebutan kepentingan sampai berantem, bunuh-bunuhan, sogok-sogokan, tipu-tipuan?

Naaaaa itulah! Surga itu soal ‘mengatasi’ ruang-waktu, soal transendensi, bukan melepaskan diri dari ruang-waktu. Mengapa masyarakat kacau? Ya karena seperti mbak-mbak tadi, mengejar surga-neraka yang tidak ‘mengatasi’ ruang-waktu. Itulah surga yang bikin ruang-waktu sekarang ini kacau: orang mengejar kepentingannya sendiri, bahkan meskipun kepentingan itu adalah kepentingan ‘surga’ tadi. Kesalehan individual, ironisnya, membuyarkan surga ketika kesalehan itu tidak jadi kontekstual, tidak jadi kesalehan sosial.
Oh, jadi lebih penting kesalehan sosial ya, Rom?
Enggak juga, kesalehan sosial tanpa dukungan kesalehan individual ya cuma hitung-hitungan otak, tak sampai hati.

Tuhan, mohon bimbingan Roh-Mu supaya kami semakin peka terhadap panggilan-Mu dalam relasi kami dengan sesama dan alam ciptaan-Mu. Amin.


JUMAT BIASA XXIII C/1
13 September 2019

1Tim 1,1-2.12-14
Luk 6,39-42

Jumat Biasa XXIII C/2 2016: Mata Genit
Jumat Biasa XXIII B/1 2015: Cling, Berubah

Jumat Biasa XXIII A/2 2014: Pemimpin Buta Rakyat Melek