Tadi malam salah seorang teman yang menyelesaikan studi tekniknya di universitas negeri ternama di kota kami ini membagikan pengalamannya yang menarik. Sehari sebelum kelulusan semua mahasiswa dikumpulkan untuk diberi wejangan oleh profesor mereka supaya para alumni universitas itu jangan pernah sekali-kali yakin seratus persen dengan hitungan yang mereka buat. Kiranya itu wejangan sederhana yang kerap dilanggar banyak orang yang merasa diri superior.
Pertanyaan retorik Yesus “Bisakah orang buta menuntun orang buta?” [retorik karena jawabannya jelas: bisa, tapi nabrak pagar atau terperosok ke lubang] bisa mengingatkan kita pada kritik terhadap orang-orang Farisi: “Celakalah kamu, para pemimpin buta! “(Mat 23,16-26). Dalam konteks Injil Lukas, perumpamaan ini ditujukan kepada para pemimpin masyarakat yang menganggap dirinya tuan kebenaran, superior daripada orang lain.
Yesus adalah seorang guru, bukan profesor. Maksudnya, ia bukan pengajar di kelas yang memberikan materi pelajaran, melainkan guru yang hidupnya selingkup dengan murid-muridnya, tinggal bersama murid-muridnya. Materi pelajaran adalah dirinya, cara hidupnya, hal-hal yang dia ajarkan. Karena itu, guru menjadi model atau contoh untuk diikuti (Yoh 13,13-15). Murid tidak hanya merenungkan dan meniru, tetapi juga terlibat dengan nasib gurunya, godaannya (Luk 22,28), penganiayaan yang dialaminya (Mat 10,24-25), bahkan kematiannya (Yoh 11,16). Murid tidak hanya meniru guru sebagai model, tidak hanya berkomitmen meniru guru, tetapi juga datang untuk mengidentifikasi diri dengannya sampai bisa berkata seperti Paulus,”Aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.” (Gal 2:20 ITB) Lha, yang terakhir ini memang susah jika orang tak membina kedekatan pribadi dengan Sang Guru, kedekatan yang tak bisa dimanipulasi dengan teknik doa sekalipun.
Itu pula yang membuat masukan, input, koreksi terhadap orang lain tidak mudah. Memberi koreksi atau masukan terhadap orang lain tentulah baik dan suci, tetapi sudah keliru jalan jika kita memberi koreksi dengan maksud mengubah orang lain. Tak ada orang yang bisa mengubah orang lain: hanya orang yang bersangkutanlah yang bisa mengubah dirinya sendiri.
Perubahan itu berasal dari pertobatan, dari kemurahan hati Allah sendiri yang senantiasa mengetuk hati setiap orang. Orang lain, paling banter, hanya bisa membantu sesamanya supaya mendengar ketukan itu. Kalau ia bergerak terlalu jauh, ia pasti bukan alumnus atau alumna universitas ternama tadi, atau tidak masuk atau tertidur saat wejangan profesor disampaikan (jangan-jangan orang yang merasa diri superior itu memang banyak tertidurnya ya semasa kuliah?).
Ya Tuhan, semoga rahmat-Mu menyokongku untuk senantiasa peka mendengarkan bisikan Sabda-Mu dalam hatiku. Amin.
HARI JUMAT BIASA XXIII B/1
11 September 2015
Posting Tahun Lalu: Pemimpin Buta Rakyat Melek
Categories: Daily Reflection