Punya Joker?

Berapa lama lagi, Tuhan, aku berteriak, tetapi tidak Kaudengar; aku berseru kepada-Mu,”Penindasan!” tetapi tidak Kautolong?
Begitu kiranya yang dibunyikan banyak orang yang sedang bergumul dalam hidupnya, entah dibunyikan lewat medsos, lewat raut muka, atau lewat mulutnya. Pokoknya, atas ketidakadilan dan kesusahan yang diakibatkannya, orang bisa berteriak kepada Allah, seakan-akan Dialah biang kerok ketidakadilan itu.
Tentu saja, dalam arti tertentu teriakan itu justru mengindikasikan bahwa orang punya kepercayaan kepada Allah. Maka mungkin baik juga bahwa orang beriman berteriak menggugat Allah. Kalau orang tak percaya kepada Allah, ngapain dia menggugat Allah?

Hanya saja, ada baiknya orang beriman mengingat bahwa krisis iman itu bukan melulu soal orang percaya atau tak percaya kepada Allah. Krisis iman bukan cuma krisis religius, krisis agama, atau krisis kerohanian, melainkan juga krisis kemanusiaan. Kalau krisis iman melulu soal kepercayaan kepada Allah, itu tak akan lebih dari krisis cara berpikir, yaitu mereka yang gandrung filsafat dan aneka sains yang dibidaninya tetapi afeksinya timpang. Alhasil, itu cuma problem kepala, tak pernah sambung dengan soal hati. Maka, krisis iman tak pernah bisa ditempelkan pada problem rasionalitas. Krisis iman berkenaan dengan bagaimana orang mengambil sikap terhadap problem rasionalitas itu.

Tak mengherankan bahwa teks bacaan pertama hari ini menyodorkan teriakan hati atas penindasan dan ketidakadilan. Ini memang teks mengenai hidup orang pada ratusan tahun sebelum Masehi. Akan tetapi, teriakan itu sendiri senantiasa terjadi sampai sekarang: mereka yang bagaikan pelanduk di tengah gajah yang berkelahi, yang dikhianati kawan sendiri, yang difitnah habis-habisan, yang disiksa tanpa alasan jelas, yang jadi korban eksploitasi kapitalis, dan sebagainya. Kurang apa coba, sudah beragama pun masih juga jadi korban ketidakadilan! Sudah beramal baik pun masih saja dikhianati orang dalam! Sudah berusaha transparan kok malah dimanfaatkan, dihina, diinjak-injak, dan seterusnya!

Para murid terdekat Guru dari Nazareth kiranya juga tidak jauh dari problematika itu: sampai kapan ketidakadilan dan kesulitan ini berlangsung? Mereka menyodorkan satu permohonan supaya iman mereka ditambahi.
Di situ ada sedikit problem besar: yang diminta adalah kuantitas, tetapi Guru dari Nazareth menanggapinya dengan wacana mengenai kualitas. Artinya, bahkan kalau orang punya secuil iman saja, orang bisa enjoy dengan relasinya bersama Allah.
Ha tetapi Allahnya ini diam saja tak peduli pada situasi ketidakadilan dan penindasan kok!
Kata siapa? Setelah ayat yang saya kutip di awal itu, ditunjukkan bahwa Allah sedang melakukan sesuatu, dan sesuatu itu justru mengundang tanggapan dari orang-orang yang terlibat dalam hiruk pikuk hidup manusia. Ia meminta nabi-Nya menulis. Artinya, supaya bisa dibaca orang: orang yang membusungkan dada, tak lurus hatinya.

Itu sinkron dengan analogi dalam teks bacaan terakhir: tak usahlah berkutat pada hasil, yang bisa baik atau buruk, tetapi bertekun saja pada proses seturut suara Allah yang dituliskan tadi: hati yang lurus tak membusungkan dada, tetapi membusungkan suara Allah, dan orang yang membusungkan suara Allah, dengan sendirinya mengerti bahwa ia hanyalah hamba yang tak berguna, yang bisa jadi berkontribusi pada ketidakadilan dan penindasan di sekeliling. Otherwise, kualitas sosok Joker mengintai dirinya, pelawak pilu pencipta kegaduhan.

Ya Allah, mohon rahmat kekuatan untuk bertekun dalam cinta-Mu. Amin.


MINGGU BIASA XXVII C/1
6 Oktober 2019

Hab 1,2-3; 2,2-4
2Tim 1,6-8.13-14
Luk 17,5-10

Posting Tahun 2016: Tambahin Dong