Saya sekali saja menginjakkan kaki di padang gurun tempat Yohanes Pembaptis berteriak-teriak dan tak berniat lagi ke sana. Puanasé pol! Jadi “suara yang berseru-seru di padang gurun” kiranya bukan pekerjaan gampang. Bukan saja karena medannya menyiksa, melainkan juga isi suaranya yang susah: Bertobatlah sebab Kerajaan Surga sudah dekat!
Zaman now saya kira tak ada lagi yang memakai rumusan Yohanes Pembaptis itu kecuali nabi yang benar-benar sinting dan menjerumuskan pengikutnya untuk aksi bakar diri atau bunuh diri massal. Meskipun demikian, sebetulnya di sekeliling Anda banyak yang merepresentasikan “suara yang berseru-seru di padang gurun” ini. Tiliklah misalnya mereka yang merasa nasihatnya tak digubris orang lain, para guru yang berteriak-teriak di kelas dan materi yang diserap muridnya cuma 20%. Tambah lagi orang seperti saya ini, hambok sudah bikin 2300an posting di blog ini yang diindahkan paling-paling yang berbau cinta-cintaan gitu deh.😂😂😂
Seruan Yohanes Pembaptis itu bisa juga ditunjukkan oleh teriakan bayi yang kurang gizi, atau anak-anak yang meminta perhatian dari orang dewasa, atau orang-orang sakit yang butuh perawatan, dan lain-lainnya…. dengan respon yang nihil. Hal-hal seperti itu terjadi di sekeliling Anda, bahkan mungkin Anda sendiri mengalaminya, entah sebagai pihak yang mana.
Menariknya, meskipun Yohanes sadar bahwa seruannya ditiup angin gurun dan banyak orang tak mengindahkannya, ia sama sekali tidak memperhalus seruannya. Kepada tokoh-tokoh agama dia malah menyebutkan atribut “keturunan ular beludak”! [Ebuset! Pemuka agama dibilang keturunan ular beludak! Hanjuk simbokku ki anakonda pa piyé?] Yohanes tak berkompromi untuk menarik hati pendengarnya.
Ndelalahnya, sebelum membaca teks bacaan hari ini, saya terlebih dulu membaca poster yang beredar di medsos saya. Ini bukan kejadian pertama sih, di kota lain juga sudah ada: perayaan keagamaan di mal, seakan-akan tak ada lagi tempat untuk beribadat syukur.
Lah, bukannya malah bagus, Rom, di mal juga dimungkinkan orang berdoa, beribadat, bersyukur? Katanya di mana saja kita mesti bersyukur kepada Allah, kenapa mal mesti dieksklusikan? Bisnis di tempat ibadat memang keliru, tapi kalau ibadat di tempat bisnis, apa salahnya?
Saya tidak berpikir dalam kerangka hukum boleh tidak boleh karena toh tak ada yang mutlak dari hukum bikinan manusia, termasuk hukum yang diklaim sebagai bikinan Allah (karena toh klaimnya dibikin manusia). Saya cuma mau bilang, kalau agama direcoki bisnis, hidup keagamaan Anda hanya sedalam etiket, label, poster, iklan, dan sejenisnya.
Mari becermin dari Yohanes Pembaptis. Dari mana dia mendapat energi untuk berseru-seru itu? Pasti bukan dari dietnya sebagai vegetarian, melainkan dari passionnya akan keadilan, dari hasratnya untuk menjadi instrumen Allah demi pertobatan umat-Nya. Yohanes tidak mewartakan dirinya sendiri. Ia menunjukkan sesuatu dan sosok yang lain.
Berbisnis di tempat ibadat bisa berujung penistaan agama, tetapi kalau Anda mau menciptakan tempat ibadat di tempat bisnis, silakan becermin pada sudut doa di bandara. Orang datang karena seruan di hati, bukan karena poster undangan. Kalau Anda mau beribadat di jantung pusat bisnis, biarlah ibadat itu berupa hasrat menyala untuk berbisnis dengan prinsip keadilan dan sensitif terhadap mereka yang tak mungkin mengundang puluhan imam atau uskup.
Tuhan, semoga kami bertobat dan peka terhadap keadilan-Mu. Amin.
MINGGU ADVEN II A
8 Desember 2019
Yes 11,1-10
Rm 15,4-9
Mat 3,1-12
Posting 2016: Tobat Tuan Prihatin
Categories: Daily Reflection